Mengeja Tuhan dalam ujian

Oke, malam ini terasa begitu bocor nih mulut tangan, entah berapa hari vakum dari menuliskan kata2 di blog, baik disini maupun multiply membuat malam ini serasa serangan malam, rentetan kisah berkelebat di otakku meminta jatah untuk segera ditelorkan dalam bentuk tulisan.

Kesombongan dan percaya diri itu memiliki sekat yang sangat tipis, meskipun kesombongan identik dengan sikap adigang adigung adiguna, sementara percaya diri berarti memiliki pandangan kuat dan logis bahwa ia sudah memiliki amunisi yang mumpuni dalam menghadapi sebuah masalah.

Saya pernah berada dalam situasi yang bagi saya pribadi cukup nadir dalam sejarah hidup saya, yaitu tentang kelulusan gelar sarjana. Jujur saja saya tidak percaya mukjizat, jika mukjizat itu diartikan adalah sesuatu yang tiba2 dan tanpa proses, sebuah hadiah doorprize antah berantah yang kebetulan dialamatkan pada saya. Bagi saya itu adalah mimpi dari negeri dongeng.

Memang mukjizat adalah keajaiban, tapi tentu saja keajaiban itu bukanlah sim salabim jadi apa prok prok prok. Melainkan sebuah proses yang memang sudah memiliki SOP sendiri dari atas langit. Masalah apaka logika manusia sudah sampai kesana itu soal lain, karena pada dasarnya perkembangan teknologi memang akan mengerucut pada dunia spiritualitas. Dan di masa kita, belum semua esensi dunia spiritual dapat kita jelaskan dengan rumus2 fisika.

Mengeja Tuhan dalam ujian peace2Karena itu saya berpegang pada salah satu ayat Al-Qur’an “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka ” QS 13:11. Nasib seseorang ditentukan orang tersebut, takdir ditentukan Tuhan.

Maka ora nggathuk ketika orang mempersalahkan Tuhan dan orang lain sebagai tersangka pada ketidakberhasilannya sendiri. Dari situ saya berkesimpulan untuk lulus saya harus mengusahakannya sendiri. Seperti dosen saya bilang, jika kita membayangkan makan mie instan, kita bisa membayangkan nikmatnya, otak kita mungkin kenyang tapi tentu saja perut kita tetap lapar, cara termudah mendapatkannya adalah segera mengambil mie instan dan memasaknya di dapur, bukan melamunkan mie tersebut telah tersaji di atas meja.

Then, i’m fight, that’s a harder war I ever fought, but I know, when I’m losing my hope and spirit, the war already over and I’ve lost completely.

Selain menjaga semangat juang menghadapi dosen dan ego saya sendiri saya sadar, saya hanya bisa bertarung dari sisi saya, saya memang telah mengorganisir banyak hal dan strategi untuk memenangkan setiap pertempuran kecil, mengamankan satu demi satu wilayah pertahanan saya dan mulai memukul mundur rintangan yang menghalang, tapi saya membutuhkan dukungan alam untuk membantu saya memenangkan perang, seperti Zhu Ge Liang yang menggantungkan strateginya pada alam, dan disanalah saya membutuhkan Tuhan. Saya membutuhkan Tuhan menjaga kesehatan saya, saya butuh Tuhan menjaga saya dari musibah di jalan, dan masih lebih banyak lagi alasan dimana saya membutuhkan tangan Tuhan di saat itu.

Saya selalu mengecek amunisi saya setiap hari, tidak pernah membiarkan ada halangan kecil yang berasal dari kelalaian saya pribadi, tapi saya tahu, semua skenario itu berasal dari diri saya, dan belum sepenuhnya teruji menghadapi musuh, Tuhan bisa saja semudah itu memporakporandakan benteng pertahanan saya, saya tahu itu, kemudian saya teringat sebuah ayat yang lain.

“Mintalah kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan.” (QS. Al-Mu’min: 60).

Saya tahu saya harus menghadapNya untuk mengijinkan saya memenangkan pertempuran ini, dengan berdoa setiap malam, memohon ampun atas kesalahan2 saya selama ini, saya tahu Tuhan menginginkan saya melakukannya, Tuhan menginginkan saya mengakuiNya, memohon kepadaNya, mengakui bahwa hidup mati saya berada dalam genggamanNya, karena stempel resmi setiap keberhasilan umat manusia ditandatangani olehNya. Itu artinya ketika saya menghadapnya saya harus melupakan bahwa benteng pertahanan saya lebih kokoh dari apapun termasuk dariNya, ya itu sangat sulit, karena bagi saya yang terbiasa berpikir logis apa yang belum dapat saya cerna dengan akal akan sangat sulit saya terima dan percaya, tapi pada akhirnya saya menyadari setiap manusia haruslah mengakui makna Laillahailallahu

Ya, di akhir cerita saya memang berhasil memenangkan gelar itu, tapi tentu saja saya tidak bisa mengatakan itu adalah kemenangan saya seorang diri, banyak orang berjasa pada saya, tidak mencelakai saya di jalan, tidak mencuri laptop saya karena Tuhan telah menjaga saya selama itu.

Dari situ saya meyakini, bahwa Tuhan bukanlah Superman, bukanlah tukang sulap yang akan mengabulkan mimpi kita tanpa berusaha, tapi Tuhan selalu dan selalu menjamin keberhasilan pada kemauan kita untuk berusaha mencapai mimpi kita.

We are nothing without God, but God is everything for us

gambar dari sini

2 pemikiran pada “Mengeja Tuhan dalam ujian”

Tinggalkan Balasan ke Priyo Harjiyono Batalkan balasan