Munafiknya Profesionalisme Pendidikan

Beberapa hari ini semakin trenyuh dengan berita2 seputar dunia pendidikan kita. Bukan lagi tentang betapa pekoknya M. Nuh mengaku berhasil dengan kurikulum 2013 nya, tetapi ini tentang berita betapa tidak manusiawinya anak2 kita di sekolah.

Negeri ini seolah lupa, bahwa hakekat pendidikan adalah untuk mengangkat harkat dan derajat manusia, pendidikan adalah untuk menciptakan manusia2 yang lebih humanis bukan sebaliknya. Pun demikian, apa yang disebut pendidikan karakter, pendidikan moral, kewarganegaraan, akhlakul karimah seolah2 hanya menjadi sebuah mitos yang tak mampu direngkuh oleh bola pikiran kita.

Seolah dongeng yang dituliskan dalam sebuah novel fantasi, begitulah jiwa karakter yang hendak ditanamkan ke benak anak2 kita. Lihatlah betapa mulianya bahasa yang digunakan dalam kompetensi2 kepribadian di RPP, Silabus setiap mata pelajaran yang diajarkan di sekolah2.

Munafiknya Profesionalisme Pendidikan bLalu bagaimana kita akan menjawab pertanyaan seorang wali murid yang buah hatinya harus meregang nyawa ditangan pelajar lainnya? Dimana sebenarnya kita mengejawantahkan kompetensi2 tersebut agar benar2 dapat ditarik keluar dari bingkaian RPP menjadi sebuah perisai yang selalu akan dikenakan sebagai baju seragam putra putri kita? Dimana seharusnya kita menaruh muka kita, saat nyanyian para orang tua tentang mimpi kesuksesan anaknya, seketika terhenti oleh ganasnya monster2 belia yang muncul dari janji janji dunia pendidikan?

Sebagai pendidik, bukan hanya merasa trenyuh, tetapi saya merasa sungguh malu dengan kejadian demi kejadian yang terus menerus terjadi di lingkungan anak2 kita, anak2 TK yang disodomi guru2nya, seorang siswi berjilbab hampir saja diperkosa anak2 SMP, anak2 perempuan SD menjadi sasaran premanisme teman sekelasnya, dan para pelajar SMA/SMK yang harus menjadi martir atas kebanggaan semu pelajar lain terhadap nama gengnya.

Kami, para guru, selalu disibukkan dengan pembuatan RPP, agar proses pembelajaran selalu dapat diaudit oleh pemerintah, memperoleh tunjangan pendapatan sesuai dengan kinerja, selalu kerepotan dengan berbagai kebijakan baru pemangku kebijakannya. Disibukkan dengan pengumpulan portofolio, keharusan mengikuti berbagai macam pelatihan, melakukan update berbagai macam data atas nama tunjangan dan profesionalitas, yang jangankan diamati secara jeli oleh para pejabat di atas kami untuk dievaluasi, dilihat saja pun tidak pernah.

Hingga kami lupa, pada saat yang sama, murid2 kami tengah berteriak menjerit meminta tolong dibalik angkuhnya dinding sekolah, sementara murid yang lain merasakan kesakitan luar biasa meregang nyawa di pinggir2 jalan di antara rumah, dan tempatnya mencari ilmu untuk masa depannya.

361654113p

Inikah cara pemerintah membentuk karakter kami? membentuk karakter anak2 kami? inikah hasil implementasi kurikulum yang mengedepankan norma2 humanis dan religiusitas? Sungguh kami merasa muka kami dicoreng dengan arang yang masih membara. Menjauhkan kami kedekatan kami dengan anak2 kami dengan dalih profesionalisme pendidik? Kembalikan saja khittah kami, bahwa kami adalah seorang Ayah, seorang Ibu, untuk anak didik kami, kembalikan hak kami yang dipasung kata profesionalisme guru, bahwa tujuan utama kami adalah mendidik, tak pernah menjauh satu inci dari mereka untuk berbagi dan menginspirasi, menanamkan nilai2 yang akan mereka kenakan sepanjang usia mereka, bukan ilmu yang hanya akan segera mereka tanggalkan selepas menempuh bangku sekolah.

4 pemikiran pada “Munafiknya Profesionalisme Pendidikan”

  1. Jadi root cause-nya apa, mas Pri?
    Apakah karena guru-guru disibukkan dengan urusan paperwork, bermacam-macam lembar penilaian, bermacam-macam dokumentasi ngajar, dll?

    Balas
    • Klo menurutku root cause nya karena ada ketidakpuasan anak terhadap apa yang ia terima dari lingkungan, baik dari lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah, jadi anak cenderung ingin mencari pengakuan, di mata anak2 muda, komunitas mereka biasanya memberi ruang untuk pengakuan eksistensi mereka, sayangnya kebanyakan pengakuan tersebut bersifat negatif, berani mabok, berani nyimeng, berani balapan liar, berani nidurin pacar, berani nyuri, berani nyerang sekolah lain, sampe berani membawa senjata kemana2 biar diakui sebagai jawara mas.

      Di satu sisi, peran kami sebagai guru di sekolah tidak lagi bisa memberikan cukup perhatian untuk menjaga mereka dari hal2 semacam itu selama di sekolah, karena selalu teralihkan oleh masalah2 administratif yang tidak terlalu penting untuk perkembangan si anak secara langsung.

      Balas
      • Nah, itu yg kumaksud di paragraf kedua komentar sampeyan.
        Kudu ada langkah taktis nih, agar guru juga bisa punya waktu memberikan perhatian ke anak2 didiknya.

        Lha mosok minggu lalu ada kejadian di Tanjungpinang, satu kelas SMP nonton bareng bokep, saat guru gak ada di kelas. Mereka kompak ngasih kode kalo situasi aman. Mirisnya malah ada yg dah praktek kecil-kecilan. Itu di kelas lho.

        Kira2 ada peluang perbaikan tidak, dari sistem pendidikan di negeri ini ke depannya? Apa malah suram?

        Balas
        • Klo pake sistem kurtilas iki, aku malah cenderung bingung, memang bagusnya di kurtilas Kompetensi keagamaan/religiusitas dan kompetensi Sosial dibakukan dalam KI 1 dan KI 2, pun klo soal terlaksana dilapangan menurutku jauh panggang dari api. Soale kompetensi itu hanya diprasastikan disitu, tidak untuk dievaluasi terus menerus implementasinya. Contoh, kompetensi tentang agama, di lapangan dengan mengadakan sholat berjamaah dianggap selesai melaksanakan kompetensi agama. Karena ya memang gak dievaluasi oleh para pengawas, mau masuk lebih dalam alokasi jam nya terbentur banyaknya materi yang harus diajarkan

Tinggalkan Balasan ke Iwan Yuliyanto Batalkan balasan