Nganggur

Setiap pagi, tugas utamaku adalah ngebeliin sarapan Fahri berupa nasi bubur di kampung sebelah, habis itu baru nyiapin sarapan mandiin dan dandanin si anak lanang sampai gantengnya kinclong lagi. Habis itu, ngajakin main sebentar sebelum kabur ke kamar mandi dan berangkat ngajar.Β Istri jatahnya nyuci baju dan ngeberesin kamar + ruang depan, sementara urusan masak dan beberes urusan halaman bagian bapak dan ibu mertua.

Penjual bubur langgananku bernama Mbok Tuman, Fahri biasa manggilnya Mbok Man, Mbok Tuman juga berjualan aneka gorengan dan sarapan pagi, sesekali menjual sayur mayur, kelapa atau bahan pangan lain yang dibutuhkan ibu-ibu disekitarnya, tidak banyak memang. Barang dagangannya hanya dipajang di sebuah meja ukuran 1 x 1 meter, suaminya bertindak sebagai koki gorengan, dan anaknya yang baru kelas 6 SD selain mempersiapkan diri untuk berangkat sekolah juga sewaktu-waktu membantu membelikan plastik kresek jika stoknya menipis di warung tetangga.

Rumah Mbok Tuman terdiri dari satu bangunan dengan dua buah gunungan rumah, gunungan yang satunya ditinggali adik kandungnya, berbeda dengan kakaknya yang rajin dan punya bisnis sendiri, adiknya terkesan lebih santai, setiap pagi selesai mencuci dan masak, dia hanya duduk-duduk memperhatikan pelanggan kakaknya datang dan pergi.

Terkadang aku bertanya-tanya dengan perbedaan kesibukan kedua kakak beradik tersebut. Yang satu bangun sejak dini hari mempersiapkan segala ubo rampe untuk mencari penghidupan, sedangkan yang satu terkesan tidak ada kewajiban lagi ya sudah.

Gambaran di atas mungkin seringkali kita jumpai di lingkungan sekitar kita, ada orang yang bekerja dengan keras sejak pagi buta, dan ada pula yang sejak pagi hanya duduk-duduk santai menikmati hidupnya yang apa adanya.

Di Indonesia sendiri tidak terbilang jumlah manusia produktif yang menjadi pengangguran, atau lebih tepatnya hanya bekerja jika ada permintaan. Pengangguran ini tidak hanya didominasi orang-orang berpendidikan rendah, tetapi juga mereka yang bertitel sarjana dan magister.

BACA JUGA:   Itu email kan ya?

Ada berbagai macam alasan yang melatar belakanginya, tidak punya pekerjaan, tidak ada pekerjaan yang cocok, tidak punya modal, kurang pendidikan, tidak cantik, tidak punya pengalaman, cacat dan lain sebagainya.

Jika kekurangan pada fisik menjadi hambatannya, aku malah punya langganan tukang jahit dan tukang setrika yang secara fisik bisa dibilang cacat. Ibu penjahit langgananku kakinya pincang, meski begitu jangan tanya bisnisnya, di rumah bersama suaminya dia menjadi wirausahawan multi talenta, mulai dari jasa jahit, pembuatan tempe dan panganan tradisional, jasa stempel dan plat nomor, pembayaran tagihan listrik, bengkel motor dan reparasi kursi sofa. Sementara tukang setrika langgananku bisa dibilang memiliki keterbelakangan mental, meski hanya berbekal satu meja tamu dan sebuah setrika biasa tetapi justru hasil pekerjaannya malah lebih rapih dan wangi dibanding dengan jasa laundry tempat lain disekitarnya yang notabene lebih mapan dan bermodal besar.

ninih-gadis-cantik-penjual-gethuk

Mindset orang Indonesia kebanyakan tentang bekerja memang mengabdi di sebuah tempat sebagai karyawan, bukan menciptakan lapangan pekerjaan atau self employee. Hal tersebut lah yang justru memicu makin banyaknya pengangguran, pekerjaan favorit orang kita adalah dipekerjakan sebagai seorang PNS, menjadi pegawai negeri sipil adalah idaman sebagian besar lulusan pendidikan di Indonesia, gaji teratur, jam kerja manusiawi dan dapat pensiun. Aman.

Sementara itu, banyak anak-anak muda mulai mencari jalan alternatif untuk menghidupi dirinya sendiri, entah berjualan gorengan, aneka makanan sampai menjadi freelancer, atau menjual baju gamis secara online di dunia maya.

Aku dan istri, meskipun telah memiliki pekerjaan sebagai guru honorer di sekolah swasta di Daerah Sleman dan Kabupaten Magelang, bukan berarti kami berpangku tangan dan menerima gaji yang segitu-gitunya, ya untuk ukuran sebuah penghasilan, menjadi guru honorer tidak dapat memenuhi tuntutan kebutuhan setiap harinya.

BACA JUGA:   Krisis dan Ekonomi Kreatif

Tiga tahun yang lalu, berbekal pengalaman kami menjadi tentor di lembaga bimbingan belajar di kawasan Jogja, kami memberanikan diri membuka bimbel sendiri di rumah. Ya dirumah, memanfaatkan ruang tamu yang cukup luas kami membuka bimbel sendiri, dengan dibantu rekan-rekan tentor yang kami kenal dari bimbel-bimbel sebelumnya.

Alhamdulillah respon siswa terhadap bimbel kami cukup besar, kami sering kewalahan mengatur jadwal les dan penggunaan ruangan. Ada keinginan untuk melakukan ekspansi yang lebih luas lagi, pun kami masih mengukur diri dengan kemampuan yang ada, karena untuk sementara kami sedang mempersiapkan kelahiran putra kedua yang rencananya lahir sekitar akhir bulan Agustus mendatang dan ada rencana untuk mendirikan rumah sendiri agar bisa belajar hidup lebih mandiri.

Jauh sebelum membuka bimbingan belajar, aku dan istri beberapa kali membuka bisnis kecil-kecilan, mulai dari menitipkan makanan di sekolah-sekolah di jogja, di rumah-rumah kos di bilangan Karang Malang dekat kampus UNY, berjualan pulsa di pinggir jalan dan membuka warung makan di dekat pasar Kolombo.

Memang, jika yang kita ukur adalah ukuran prestise, hal semacam itu justru terkesan memalukan, sarjana kok jualan pulsa, di pinggir jalan pula, kalau ada hujan dan angin ribut harus menepi di emperan gedung kampus. Gaulnya dengan pengemis, penyapu jalan, tukang becak, tukang batagor yang hanya lulusan SD.

Toh, kami menyadari, hidup itu bukan untuk dilihat gengsinya, tetapi untuk dijalani dengan kegiatan yang produktif dan menghasilkan, menabung untuk diri sendiri, keluarga, masa depan syukur-syukur bisa membantu masyarakat sekitar yang membutuhkan.

Manusia diciptakan Tuhan penuh dengan potensi, tingkat pendidikan, kekayaan, keningratan dan kemapanan hanyalah bonus kecil dari Tuhan yang tidak membeda-bedakan potensi utamanya, pikiran dan kemauan manusia itu sendiri.

Nganggur atau tidak, bukanlah sebuah suratan takdir, tetapi pilihan, mau atau tidak untuk bergerak menjadi manusia yang lebih bermanfaat, untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, agama dan negara.

7 pemikiran pada “<span class='p-name'>Nganggur</span>”

  1. Kalau saya selalu meyakini, Rezeki itu ngga pernah tertukar mas πŸ˜€ Selama kita kerja keras, Tuhan yang menilai

    Balas
  2. Setuju banget ama tulisannya, Mas. Saya malah prihatin ama para sarjana yang milih nganggur daripada nglakoni pekerjaan yang menurutnya kurang bergengsi. In shaa Allah rezeki milik orang2 yang sabar berusaha.

    Balas
  3. Saya juga sarjana, enggak malu setiap pagi antar-antar kue bikinan istri ke kios langganan kami, Mas. Hidup adalah soal fungsi, bukan gengsi. Fungsi untuk memberi manfaat bagi keluarga dan orang lain. Selama halal, tak perlu merasa malu. Justru hebat orang yang bisa menambah penghasilan dengan cara-cara kreatif–walau di mata orang lain terlihat tidak bergengsi. Toh kalau kita lapar, orang lain tak akan peduli. Salam. Semoga lancar bimbelnya πŸ™‚

    Balas
    • leres mas, maturnuwun tambahannya, suka sekali kalimatnya “Hidup adalah soal fungsi, bukan gengsi“, nuwun πŸ˜€

      Balas
  4. Saya juga sarjana, enggak malu setiap pagi antar-antar kue bikinan istri ke kios langganan kami, Mas. Hidup adalah soal fungsi, bukan gengsi. Fungsi untuk memberi manfaat bagi keluarga dan orang lain. Selama halal, tak perlu merasa malu. Justru hebat orang yang bisa menambah penghasilan dengan cara-cara kreatif–walau di mata orang lain terlihat tidak bergengsi. Toh kalau kita lapar, orang lain tak akan peduli. Salam. Semoga lancar bimbelnya πŸ™‚

    Balas

Tinggalkan Balasan ke ira Batalkan balasan

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini