Vox populi, vox dei?

Vox populi vox dei, atau lebih dikenal di negeri ini dengan istilah suara rakyat, suara Tuhan secara sejarahnya masih ambigu, ada yang menyebut muncul di awal tahun 1700 an bahkan 1300 an. Ungkapan itu muncul sebagai semboyan perlawanan rakyat terhadap kebijakan penguasa yang dianggap akan menyengsarakan mereka.

Dalam negara demokrasi, semboyan tersebut menemukan ruangnya, dari rakyat, oleh rakyat untuk rakyat. Tentu saja ini masih sebatas jargon semata, dalam implementasinya masih jauh dari harapan. Apalagi jika menyangkut vox populi, vox dei.

Agak riskan sebenarnya melabeli suara rakyat sebagai interprestasi suara Tuhan, pertama apa yang diyakini massa bisa jadi tidak sesuai dengan fakta, terkontaminasi perasaan dan terlanjur diakui sebagai kebenaran. Kedua, media massa kita syarat dengan faktor kepentingan, menghiperboliskan keadaan untuk menarik audience, bahkan menggunakan kalimat provokatif dan tendensius. Ketiga, berapa standar jumlah minimum manusia yang dihitung agar kebenaran yang mereka yakini dapat kita sebut representasi suara Tuhan? Dan yang terakhir, Tuhan tidak pernah ikut campur tangan dalam urusan penghakiman massal semacam ini, tidak pernah dimintai pendapat dan tidak pernah dilibatkan dalam diskusi.

BACA JUGA:   Multiply.co.id Anti Kritik

Aku ambil contoh kisah Socrates, suatu ketika Socrates menangkap lalat yang cacat, ia menghitung jumlah kakinya sejumlah 5 buah, kemudian mengumumkan kepada khalayak. Socrates, yang dianggap cendekiawan oleh orang Yunani ketika itu tentu pernyataannya dianggap sebagai kebenaran umum, setelah beberapa lama, diketahui bahwa jumlah kaki lalat yang benar adalah 6, lalat yang ditangkap Socrates kehilangan satu kakinya.

Baiklah, itu hanya contoh enggak penting dari kebenaran umum yang diyakini oleh massa, yang jadi masalah, bagaimana jika sebuah berita tersebut dipolitisir untuk memancing amarah rakyat yang rentan memicu gesekan antar kelompok masyarakat. Berabe hasilnya. Ambil contoh, ketika di kerumunan pasar, ada seseorang yang berteriak copet, serentak warga akan mencari sosok pertama yang kelihatan melarikan diri, kemudian mengejarnya, memukulnya, menganiaya sampai babak belur tanpa pikir panjang lebih dulu. Padahal belum tentu orang tersebut yang menjadi copetnya, bisa saja orang tersebut lari karena sudah gak tahan kebelet pipis.

Lalu benarkah bahwa dengan hanya mengenakan baju batik maka kita dianggap sudah menunjukan rasa cinta kita kepada bangsa ini? Apakah hal tersebut dapat dijadikan indikator kecintaan terhadap bangsa. Karena aku sendiri yakin, setiap manusia dewasa di Indonesia pasti memiliki lebih dari satu kemeja batik di rumahnya, toh, masih saja banyak tawuran dan sikap mengedepankan ego yang ditunjukkan. Jadi masih sangat dini untuk menyebutnya sikap cinta pada tanah air dengan satu indikator tersebut.

BACA JUGA:   Cara Mencegah dan Menanggulangi Tawuran: Apresiasi Pencarian Jatidiri

Jadi menurutku istilah vox populi vox dei bukanlah sebuah istilah yang perlu kita tanggapi dengan serius, manusia adalah manusia, sosok yang tidak akan pernah suci dari kekotoran dan kesalahan, sedangkan Tuhan adalah Ia yang kita yakini kebenaranNya sepenuhnya.

5 pemikiran pada “<span class='p-name'>Vox populi, vox dei?</span>”

Tinggalkan Balasan ke ira Batalkan balasan

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini