Jaman serba cepat seperti sekarang ini menuntut informasi dapat dihadirkan secepat2nya, disiarkan langsung, bahkan klo bisa, udah diberitakan sebelum kejadian. Hasil pemberitaan semacam itu pada akhirnya menjadi berita yang subyektif, sepotong2, karena disajikan memang secara subyektif dari sudut pandang wartawan di TKP.
Kelalaian paling sering adalah ketika mengabarkan jumlah korban sebuah musibah, dua media dalam waktu yang sama bisa mengabarkan jumlah korban yang berbeda, dan hasilnya masyarakat jadi bertanya2, berapa jumlah korbannya? Belum lagi nama orang yang diliput kadang menjadi berbeda2, ada media yang nyebut dodi, dody, dedi, deddy, afuuu kok wartawane ki ngamong2i ora kuwi ngasih nama orang seenak udelnya?
Hal parah berikutnya adalah menggunakan judul yang terkesan ‘wah’ padahal beritanya cuma bosokan, cuma 3 paragraf, itupun di pisah2 jadi beberapa page hanya demi mengejar SEO, jancuk iki wartawan apa blogger sih sakjane???
Makanya selama ini aku tetep lebih percaya sama media konvensional yaitu koran, buat aku hanya koran yang masih mengikuti pakem pemberitaan yang baik, sudah melalui tahap redaksional dan editing yang obyektif. Meski rata2 koran sekarang juga telah memiliki surat kabar online masing2, aku tetep lebih suka printed version, kenapa? ya karena itu tadi, media online hanya mengejar siapa yang pertama menayangkan berita dan siapa yang akan terindeks paling atas di google. Gak masalah klo isi beritanya salah, sampah dan memakai judul yang “menipu” calon pembaca agar tertarik. Najisnya media online kita banyak yang hobby menggunakan kalimat berunsur sex untuk menggiring pembaca ke dalam situsnya. Silahkan buka facebook untuk melihat contoh iklan menjijikan para media online ini di bagian iklan.
Masih mending baca tulisan blogger, meski enggak mengacu pada aturan jurnalistik tetapi tulisan blogger bisa dibaca sebagai sebuah citizen jurnalism, opini publik pada sebuah peristiwa.
Unsur kecepatan penyampaian informasi yang enggak dicek dan ricek lagi sepertinya sudah merupakan hal yang dimaklumkan para wartawan, setali tiga uang dengan media televisi yang pemberitaannya makin enggak berbobot. Media tv kita dikuasai hampir oleh para politisi parpol dan digunakan untuk mengkatrol kepopuleran mereka, dan menutupi borok partainya. Mana berani sih media mengusik parpol milik tuan besarnya? Kalau sudah begini, apa masih bisa dibilang bahwa media bisa menjadi pilar ke empat demokrasi yang netral? Apa bisa media memberitakan berita yang seimbang tanpa ada unsur kepentingan?? Cuihhhh!
semua media gitu. nggak ada lagi media netral. media netral aja sekarang ngikut barat karena sumber media dunia adalah barat seperti BBC, CNN, reuters, APP
haha lha klo media timur contohnya mana njeh ?
Bener , setuju juga ..
Oh ya, ada tekhnologi mutakhir dari ϐlαcƙbєяяy™, saya bahas di blog, tinggalkan jejak ya 🙂
maturnuwun mbak 🙂
setuju mas. kemaren aku juga ngebahas soal ini di http://vanisadesfriani.blogspot.com/2013/02/perubahan-iklim-bagi-masyarakat.html?showComment=1362101255290#c8573202571063389190
hahaha post.annya sama terus ya ;p
sip segera meluncur mbak vani
hahaha.. setuju memang seperti itu adanya, adapun baca koran atau media online saya kurang gitu suka karena saya sudah bosan dengan isi berita yang gitu2 aja.. gak ada yang lebih wooow gituuh? 😀
haha ya beritanya tetep stagnan diseputaran hal2 tertentu dan dibahas sampe bosen di hampir semua media
“Masih mending baca tulisan blogger, meski enggak mengacu pada aturan jurnalistik tetapi tulisan blogger bisa dibaca sebagai sebuah citizen jurnalism, opini publik pada sebuah peristiwa.” « SETUJU 😀
ha makasih mbak narin emang lebih asik baca tulisan personal blogger daripada liat berita onlen