Fenomena Gojek

Panggil programmer, dua minggu selesai.

Masih ingat kata-kata Jokowi sewaktu debat capres tahun lalu pada saat ditanyakan mengenai percepatan e-government? Eh sekarang denger-denger minta bantuan sama Singapura dalam bentuk M0U. Tapi whatever lah aku gak lagi ngebahas faktor Jokowinya.

Beberapa bulan terakhir ada fenomena transportasi yang cukup booming di empat kota utama di Indonesia, Jabodetabek, Bandung, Bali dan Surabaya. Fenomena itu adalah munculnya Go-Jek. Go-Jek adalah aplikasi smartphone yang bisa digunakan untuk memesan layanan ojek di empat kota tersebut, mulai dari antar jemput ke kantor, mengantarkan barang, melakukan pengiriman makanan, pembelian barang-barang siap antar di bawah nominal satu juta. Setiap pengendara gojek juga dibekali dengan helm dan jaket sebagai atribut dan pengenal bagi para penumpangnya.

pengendara gojek cantikFaktor kemudahan memesan layanan inilah yang membuat Gojek meroket, bahkan sampai muncul aplikasi tandingan yaitu GrabBike, sementara untuk taksi juga ada aplikasi-aplikasi sejenis, silahkan cari di Google Store pasti ketemu. Konon para pengojek yang bergabung dengan Gojek dapat memperoleh penghasilan berjuta-juta rupiah bermodal motornya, hal ini juga memicu booming banyaknya orang yang melamar sebagai ojeker Gojek dan berharap bisa mendapat penghasilan yang lebih besar daripada penghasilan mereka dari pekerjaan yang sekarang ditekuni.

Tapi tidak berakhir sampai disini, demam gojek selain memiliki imbas positif juga memiliki dampak negatif, kata tukang ojek pangkalan terutama. Yaitu menurunnya jumlah pelanggan mereka akibat lebih suka menggunakan layanan dari Gojek. Akibatnya sering terjadi tindakan premanisme, kekerasan dan ancaman dari para tukang ojek pangkalan pada ojeker Gojek.

Pekok sebenernya!

Jika mau dipikir, baik gojek maupun ojek pangkalan tugasnya sama, mengantarkan pelanggan, Gojek hanya melakukan penertiban administrasi dan juga penggunaan teknologi informasi sebagai nilai tambah layanannya, beda dengan tukang ojek biasa yang hanya mengandalkan cara pasif menunggu disawer calon penumpang. Jadi ini hanya soal kemauan berimprovisasi dan memberikan nilai tambah pada pengguna.

Lalu jika kita tarik ke belakang, jujur saja deh, motor yang digunakan tukang ojek itu sendiri berwarna plat hitam, artinya kendaraan tersebut diperuntukkan untuk kegiatan pribadi bukan transportasi umum, berbeda dengan angkot, bus dan truk yang merupakan kendaraan bisnis dan biaya pajaknya berbeda dengan kendaraan pribadi. Jadi heran kalo tukang ojek bilang ini wilayah kekuasaannya dan melarang gojek mengambil penumpang disana, lha mereka saja entah punya ijin trayek atau tidak, tidak menggunakan motor berplat kuning, kok bisa-bisanya seolah memiliki hak kuasa atas pengendara lain.

Ini bukan hanya soal teknis pemrogramman tapi bagaimana pemerintah pun bisa memberikan perlindungan terhadap terobosan teknologi yang ada dari tindakan premanisme semacam ini, semoga hal ini bisa menjadi perhatian pemerintah kita ke depannya.

6 pemikiran pada “Fenomena Gojek”

  1. Tapi kemaren temenku sempet lho mas pesen Gojek dan Itu jaket sama Helm disembunyiin dulu sama om Gojeknya. Takut sama Ojek Pangkalan katanya mah

    Balas
  2. Solusinya.. jadikan ojek sbg alat transportasi resmi, ber-plat kuning, dan ada penetapan trayek-nya, dibedakan menurut warna helm-nya.

    Balas

Tinggalkan komentar

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini