Ayah ini candinya dari batu??
Iya mas Faiz, ini dari batu
Kenapa dari batu yah?
Biar kuat dan gak gampang hancur
Oh orang dulu engga takut sama batu?
….
Petikan percakapan itu terjadi antara aku dan putra keduaku di area Candi Ijo, candi tertinggi di wilayah Jogja. Disebut Candi Ijo karena berdiri di atas Bukit Ijo, salah satu dari perbukitan Shiva Plateau di sisi timur Kabupaten Sleman. Di perbukitan ini, banyak ditemukan berbagai peninggalan sejarah era Mataram Kuno. Ada Candi Banyunibo, Candi Barong, Candi Ijo, Keraton Ratu Boko, maupun situs-situs kecil berserakan di sekitar perbukitan ini.
Pikiranku lalu melayang jauh mengenai kondisi candi-candi yang ada di Jogja dan sekitarnya.
Candi sebagai Kekayaan Bangsa
Wilayah Prambanan, memang dikenal dengan berbagai situs cagar budaya Indonesia peninggalan leluhur di masa lalu. Hampir sebagian besar peninggalan peradaban Mataram Kuno Wangsa Sanjaya berada di area ini, kurang lebih ada 14 Candi yang tersebar di wilayah Prambanan dan Kalasan.
Sebagian besar candi yang ditemukan dalam kondisi hancur ataupun terkubur di dalam tanah. Hal ini wajar, karena Jogja memiliki gunung berapi paling aktif di dunia. Bahkan, disinyalir Wangsa Sanjaya, dan juga Wangsa Syailendra, memilih mengungsikan diri ke Jawa Timur, meninggalkan berbagai karya agung mereka karena mengamankan diri dari bencana letusan Merapi. Lalu demikianlah, karya-karya besar tersebut terkubur satu milenial, sebelum ditemukan kembali sebagai bukti karya agung masyarakat Indonesia di masa silam.
Dewasa ini, candi di wilayah Prambanan dan sekitarnya telah mendapat perhatian dari pemerintah, lewat Badan Pelestarian Cagar Budaya Yogyakarta di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan yang mengurusi inventaris, perawatan dan juga pelestarian benda-benda cagar budaya di wilayah Jogja dan sekitarnya. Bahkan, Candi Borobudur pernah menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia. Banyak wisatawan yang kemudian berbondong-bondong ke Jogja untuk menyaksikan satu demi satu kemegahan candi-candi tersebut.
Untuk menarik minat wisatawan, pengelola candi juga meningkatkan fasilitas demi kenyamanan pengunjung, tidak jarang juga pengelola candi bekerjasama dengan berbagai pihak untuk menyelenggarakan acara berskala nasional atau internasional guna menambah daya tarik acara tersebut.
Menanamkan Handarbeni si Kecil pada Candi
Handarbeni:
Sikap merasa bangga dan memiliki
Diwujudkan dalam tindakan ikut menjaga, merawat dan membela
Candi adalah bagian dari wisata minat khusus, wisata di candi umumnya bertujuan untuk memberikan edukasi mengenai sejarah candi, arsitektur dan juga fungsi dari candi. Hal terakhir ini yang terkadang membuatku terasa getir.
Beberapa tahun yang lalu, aku pernah berdiskusi dengan salah seorang blogger senior dari Bali, beliau merasa resah dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke candi.
Memang di Candi Prambanan dan Borobudur, ada tradisi mengikatkan kain batik bagi pengunjung candi. Cara ini sebenarnya bukan sekedar agar wisatawan yang hadir bisa lebih merasakan kearifan lokal, namun cara ini adalah cara untuk mengukur jumlah pengunjung yang boleh masuk dan menginjakkan area candi. Dengan cara ini, pengelola bisa memastikan bahwa jumlah pengunjung dalam batas aman. Karena, pada dasarnya semakin banyak pengunjung juga meningkatkan resiko kerusakan pada candi, entah dari gesekan sepatu, debu dan kotoran, maupun berat total pengunjung yang naik ke bangunan candi.
Setiap Merapi meletus, bangunan candi tertutup abu vulkanik. Dan ini adalah masa dimana candi akan ditutup untuk umum, biasanya dilakukan pemugaran dan pembersihan bangunan candi dari debu vulkanik yang bersifat korosif pada bangunan candi. Namun bukan itu yang membuat rekanku merasa resah.
Mas bukannya bagus ya, kalau masyarakat kita lebih mengenal candi dan memiliki rasa handarbeni (merasa memiliki dan bangga yang ditunjukkan dalam bentuk menjaga dan merawat) dengan kebudayaan kita?
Sebenarnya bukan bagus atau tidaknya mas,
bagi kami, candi adalah tempat suci, tempat kami bersembahyang dan mengagungkan nama Tuhan,
tapi dengan kondisi saat ini,
bagaimana kami bisa khusyuk?
jika harus berbagi ruang dengan ribuan wisatawan yang berkunjung ke candi setiap harinya.
Kalimat itu terasa sekali menampar pipiku, betul sekali. Di masa silam, sebuah candi dibangun sebagai tempat ibadah, tempat memohon dan mengagungkan Tuhan, tapi saat ini, aku bahkan tidak bisa menemukan rekan-rekanku bisa beribadah dengan tenang di lokasi tersebut. Pahit sekali rasanya membayangkan jika kamilah yang tidak bisa merasakan nikmatnya bersujud di dalam masjid karena terlalu banyak wisatawan yang datang untuk berfoto ria disana.
Aku tidak berani berpikiran lebih jauh lagi, tapi menyadari bahwa candi adalah lokasi yang suci bagi sebagian rekan-rekanku, aku hanya berusaha mengajarkan pada putraku bahwa kita harus menghormati kesucian candi tersebut dengan menjaganya baik dari pikiran, tindakan maupun perbuatan kita selama disana. Bukan hanya merawat dan menjaga bentuk bangunannya, tapi bagaimana kita juga bisa ikut merawat harkat, martabat serta keagungan candi itu dari hal-hal yang mengurangi kesucian candi tersebut selama kita berkunjung kesana…..
Ade, dulu orang-orang berdoa sama Tuhan disini,
klo ade lagi doain dede Farid (putraku yang sudah meninggal) dede takut engga ?
Engga yah, kan dede Farid nungguin mas Faiz di surga
Nah, sebelum berdoa ade harus ngapain dulu
Harus wudhu dulu yah
Anak pinter…
==========================
Tulisan disertakan dalam Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat Atau Musnah
Yuk ikutan, syarat dan ketentuan bisa disimak di poster ini