Nrimo ing pandum dalam bahasa Jawa kurang lebih berarti nrimo (menerima) apa yang diberikan dengan rasa ikhlas dan syukur. Bagi masyarakat Jawa wejangan ini merupakan himbauan agar dalam setiap laku kehidupan kita harus bersikap ikhlas dan mensyukuri apa yang telah diberikan Tuhan.

Bagi sebagian orang, konsep ini seringkali dianggap sebagai bentuk kebodohan dan penyamanan diri dari ketidakmauan bekerja lebih keras lagi. Jika memang yang diterima kurang, maka tandanya kita terlalu malas dalam berusaha.

Bisa jadi anggapan tersebut ada benarnya, mengingat semua falsafah, slogan dan visi pada dasarnya bisa diperdebatkan. Tetapi disini falsafah nrimo ing pandum ini aku garis bawahi sebagai bentuk tawakal atas usaha yang dilakukan.

Tawakal sendiri menandakan fase keikhlasan untuk dinilai atas hasil kerja dan doa yang telah dilakukan. Jadi disini falsafah ini hanya berlaku untuk mereka yang telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Apapun hasilnya itulah yang akan mereka terima dengan tangan terbuka.

nrima ing pandum abdi dalem keratonSeorang petani, dengan jerih payah sejak pembibitan hingga menunggu masa panen, tiba2 sawahnya terkena terjangan banjir, hanya bisa pasrah. Menyesali kerja kerasnya selama ini pun tidak akan membuat hasil panennya sesuai harapannya. Tetapi tetap berbaik sangka kepada Tuhannya akan membuat jiwa mereka lebih ringan untuk kembali bangkit dari keterpurukan.

Seringkali orang terlalu percaya diri dengan planning keuntungan yang akan didapatkan, dan kemudian merasa kecewa setelah mendapatkan hasil yang kurang dari itu. Capaian target ini yang tidak ada dalam konsep nrimo ing pandum, dengan demikian tidak ada tendensi untuk merasa gelo jika hasilnya kurang memuaskan.

Rejeki tidak pernah dapat dihitung dalam bentuk nominal, begitulah yang dipercaya masyarakat kota Jogja pada umumnya. Bagi para kusir andong, rejeki bukan hanya dilihat dari berapa tarif yang berhasil ia uangkan terhadap para wisatawan, tetapi kenyataan bahwa dalam keseharian mereka, dengan penghasilan yang tidak menentu Tuhan masih menitipkan rejeki untuk mengganjal perut mereka.

Para abdi dalem kraton mungkin merupakan contoh yang paling kentara dari konsep ini. Betapa tidak dengan hanya bergaji di kisaran 2ribu-5ribu rupiah per bulan. Bahkan untuk membeli satu porsi nasi ayam pun tidak akan pernah cukup. Tetapi ternyata, para abdi dalem tersebut menganggap hal tersebut sudah merupakan berkah.

BACA JUGA:   Titip Doa berbayar

Keikhlasan menerima nominal yang ala kadarnya tersebut tidak sebanding dengan perasaan adem ayem tentrem mereka menjadi seorang abdi dalem, sehingga mereka tidak perlu merasa ndresula terhadap besaran gaji mereka.

Kebahagiaan kita tidak diukur dari besaran gaji yang kita terima,

Tetapi bagaimana kita mensyukuri apa yang telah kita capai dari kerja keras kita.

gelo: kecewa

ndresula: berkeluh kesah

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini

Tentang Penulis

Priyo Harjiyono, blogger kelahiran Cilacap yang kini menjadi warga Ngayogyakarta Hadiningrat, baginya blog adalah dunia untuk menciptakan mimpi2nya. Saat ini masih disibukkan sebagai pembelajar dalam dunia pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai: