Perkembangan Startup Indonesia Mencapai Klimaks?

Perkembangan Startup Indonesia mulai mencapai klimaksnya. Persaingan ketat di dunia digital, pada akhirnya mulai menunjukkan imbasnya, FoodPanda misalnya memilih menutup layanan pemesanan online mereka di Indonesia, ini juga menandakan FoodPanda angkat kaki dari industri delivery online di tanah air. Kekalahan FoodPanda konon seiring dengan semakin menjamurnya startup delivery online di tanah air dan inovasi duo Gojek GrabBike yang meluncurkan layanan pemesanan makanan online.

Secara matematis, FoodPanda sebenarnya telah memiliki jaringan kerjasama yang sangat luas dengan ribuan restoran di berbagai kota di Indonesia. Tidak hanya itu, mereka juga telah berkembang di di berbagai negara. Tidak hanya sebatas market lokal tapi juga internasional.

Sayangnya, dengan mekanisme kerjasama demikian, rupanya kurang cocok untuk masyarakat Indonesia. Masyarakat yang ingin memesan masakan tertentu dari restoran yang belum bekerja sama tentu akan memilih layanan dari startup lain. Gojek misalnya, sebelum meluncurkan Go-Food sudah terlebih dahulu memberikan jasa layanan pesan antar makanan, bahkan pembelian belanja di bawah satu juta rupiah dibayarin duluan oleh drivernya. Masyarakat tidak hanya bisa memesan makanan, tapi juga pesan antar barang lain, seperti dokumen, peralatan kantor dan lain-lain.

Gojek bisa dibilang sangat sukses memberikan awareness kepada masyarakat di Indonesia mengenai inovasi transportasi secara online. Hanya GrabBike dan Uber yang mampu mengimbangi keagresifan gojek dalam memperebutkan kue jasa transportasi online.

Beberapa hari yang lalu SaleStock dikabarkan juga merumahkan ratusan karyawannya di bagian costumer service, akan tetapi perumahan karyawan ini menurut pihak SaleStock untuk melakukan efisiensi perusahaan dalam mencapai tujuan yang lebih penting.

Apapun itu, kita dapat melihat, bahwa persaingan bisnis startup online memang sangat ketat. Sebelumnya tiga marketplace yang sama-sama dimodali oleh Capital Venture asal Afrika Selatan, Naspers berguguran dalam kurun waktu 3 tahun, Multiply, Tokobagus dan Berniaga, padahal ketiga marketplace tersebut merupakan startup digital yang cukup menjanjikan dimasa itu. Naspers kini hanya mengandalkan OLX di pasar Indonesia.

Apa sih yang sebenarnya membuat Startup digital berguguran di Indonesia?

Aku sendiri tidak terlalu paham dengan bisnis-bisnis semacam ini, tapi dari yang aku dengar, hal ini terkait dengan besarnya biaya burn rate dan tidak kunjungnya perusahaan mendapatkan profit/ pendanaan baru.

Burn rate adalah istilah kecepatan startup menghabiskan dana yang mereka miliki untuk keperluan promosi. Dengan promosi yang masif, gaung mengenai layanan mereka memang akan terdengar dan membuat banyak orang penasaran, untuk kemudian menggunakan layanan tersebut.

Sayangnya hal ini tidak diimbangi dengan kecepatan melakukan turn over profit dari awareness yang dihasilkan, mereka terus melakukan promosi yang lebih besar, layanan yang lebih variatif, mencari pendanaan baru tetapi tetap belum berorientasi profit. Mereka mendasarkan perkembangan startup Indonesia pada valuasi perusahaan.

Di satu sisi, pendanaan yang luar biasa memberikan mereka keuntungan untuk menekan kompetitor yang tidak memiliki dana, startup-startup lokal baru mau tidak mau harus memikirkan ulang strategi pemasaran mereka menghadapi pesaing yang sangat kuat dari sisi pendanaan ini. Tapi disisi lain, model bisnis semacam ini sangat beresiko jika tidak ada lagi investor yang mau menyuntikkan modal baru. Uang investor hanya akan dibakar untuk meningkatkan valuasi merek.

Tokopedia yang menempati ranking 59 startup global, dan Bukalapak (peringkat 88 global), sebagai dua layanan marketplace berbasis B2C yang masih eksis, setiap bulannya masih terus mengalami kerugian antara satu hingga dua milyar, meskipun demikian dana promosi seperti iklan tv dan media lain serta promo-promo semacam free ongkir dan diskon tetap diberlakukan.

Saat ini MatahariMall, Zalora dan Blibli masih memberikan gratis ongkos kirim ke seluruh Indonesia, sementara marketplace lain masih sering memberikan diskon promosi, belum lagi dua bulan di akhir tahun sebagian besar marketplace sangat jor-joran dalam memberikan promo terkait event Hari Belanja Online Nasional.

layanan startup transportasi online

Layanan ojek online juga setali tiga uang, meski berhasil menggusur berbagai lini startup kompetitor dengan menghadirkan cukup banyak varian layanan baru, toh dikabarkan masih terus mengalami kerugian setiap bulannya. Gojek cukup ambisius dengan menggelontorkan berbagai varian layanan seperti GoMassage, GoClean, GoFood, GoMart, GoGlam, GoCar dan beberapa varian lain, kemunculan layanan ini tentu ‘mengusik’ startup lain yang memang hanya concern di salah satu layanan tersebut.

Dengan model bisnis seperti ini, masyarakat selaku konsumen memang senang karena selalu mendapat diskon, voucher dan free ongkir, masalahnya tipikal costumer di Indonesia tidak begitu loyal, begitu ada startup baru yang memberikan promo yang lebih oke, mereka bisa langsung berpindah ke lain hati.

Sampai kapan startup Indonesia bisa benar-benar menjadi startup yang bisa menghasilkan uang?

burn rate perkembangan startup indonesia

Sebagai orang yang awam bisnis saya sendiri hanya berharap, akan ada regulasi dari pemerintah yang lebih baik terkait dengan fenomena tidak sehat semacam ini. Pertama, untuk melindungi UMKM dan sektor rill yang berasal dari masyarakat kecil, toko-toko online independent, tukang ojek pangkalan, mereka tidak punya modal untuk memberikan diskon layanan atau free ongkir untuk calon pelanggannya. UKM tidak akan mampu bersaing dengan permainan bakar uang ala startup besar.

Kedua, pasar Indonesia sangat besar, dan masih akan terus bertumbuh tapi jika UKM nya kalah pada akhirnya akan terjadi hegemoni pemodal asing yang mengeruk keuntungan dari pasar di Indonesia. Indonesia mungkin bisa berbangga nilai transaksi elektronik meningkat drastis dari tahun ke tahun, akan tetapi apa jadinya jika kelak lima sampai sepuluh tahun ke depan uangnya hanya dinikmati para pemodal asing?

Ketiga, bagi para startup Indonesia  sendiri, sampai kapan mereka akan menikmati valuasi merk mereka? Dan mulai memikirkan bisnis yang benar-benar bisa menghidupi perusahaan mereka agar mampu bersaing sebagai unicorn di pasar global?

Tinggalkan komentar

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini