Psikologi Spontan

Di sekolah, aku terkenal sebagai guru yang kepo terhadap murid-muridku, dari kegiatan gak penting itulah aku sering dapet informasi bawah tanah mengenai kelakuan murid2ku baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. Kegiatanku meng-kepo-in mereka bukanlah untuk mencari alasan yang bisa kupakai sebagai kartu truf saat mereka susah diatur dan memberikan punishment. That’s not my type.

Sebenarnya, aku gak selalu berusaha kepo sama semua kegiatan mereka, aku seneng ngobrol dengan anak-anak, mencoba memahami cara pandang anak2 muda di usia mereka yang tentunya pernah aku jalani pula. Keluguan merekalah yang kemudian akhirnya membuat mereka sering terjebak sendiri untuk tiba2 curhat tanpa disengaja 😀 Kalo sudah keceplosan begitu, ya bablaskan saja

Kadang karena itulah anak2 agak waspada kalo lagi ngobrol denganku, tapi endingnya selalu mereka curhat hal2 yang belum aku ketahui. Pembawaanku mungkin menghanyutkan mereka untuk selalu keceplosan satu dua patah kata yang kemudian aku jadikan pijakan untuk mencari informasi lebih dalam.

Saat seseorang merasa nyaman ngobrol, alam bawah sadar mereka akan terpancing memberikan informasi yang benar, meskipun ketika tiba2 mereka tersadar telah terjebak pertanyaan untuk membuka informasi yang tidak boleh diketahui, maka aku bisa langsung menebak bahwa mereka menyimpan sesuatu yang bisa aku reka ulang.

Selain itu, aku selalu memperhatikan ekspresi jeda akibat keterkejutan mereka saat kutanyai sesuatu. Misal, seseorang yang pernah merokok, saat kutanya pernah merokok tidak, pasti dia akan menampakkan ekspresi jeda sesaat, antara berusaha menjaga rahasia dan tidak ingin berbohong. Dari situlah aku bisa mengetahui bahwa pertanyaanku sudah punya jawaban yang pasti, Ya!

cerita rahasia siswa SMK

Berbeda dengan jika seseorang tersebut tidak pernah melakukannya, maka secara spontan dia akan serta merta menyanggahnya, tidak perlu jeda waktu untuk berpikir dan menimbang bakal menjawab apa. Ekspresi mata dan roman muka juga jelas sekali berbeda dengan kesalahtingkahan mereka yang tertangkap interograsiku.

Seburuk2nya kenyataan yang aku dapati toh aku hampir tidak pernah memarahi mereka atas perbuatannya. Karena aku sadar, setiap orang pasti punya masa lalu yang buruk, atau yang masih mereka jalani. Menghakimi mereka tidak akan membuat mereka lebih cepat sadar, justru sebaliknya akan membuat mereka merasa toh ini hidup gue sendiri. Cara yang terbaik adalah membuka pelan2 kesadaran mereka dengan dialog yang melibatkan logika dan norma yang mereka miliki.

Setiap anak juga memiliki karakter berbeda, tapi pada dasarnya semua memiliki kebutuhan yang sama untuk dimengerti. Dulu ada anak yang selalu telat dua jam datang ke sekolah, sementara guru lain memarahi dan melarang ikut pelajaran, aku cuek aja, gak masalah, kemauan dia untuk tetap datang ke sekolah bukan sesuatu yang sia-sia menurutku, telat iya, ketinggalan pelajaran ia, tapi setidaknya dia punya kemauan dan keinginan untuk mengikuti pelajaran. Sesedikitnya dan sesangat tidak pentingnya hal itu menurutku sudah cukup untuk kita apresiasi.

Anak lebih mudah diajak untuk berdiskusi dengan bahasa mereka, dengan cara pandang mereka, kesantaian, keluguan dan kelabilan masa muda. Dari diskusi itu pada dasarnya mereka sendiri mengakui jika perbuatannya sebetulnya melanggar prinsip etika dan norma yang mereka miliki, hanya saja mereka masih punya pertimbangan yang bisa kita bilang gak penting untuk orang2 seusia kita tapi masih punya influence untuk masa-masa mereka.

Memaksa mereka mengakui kesalahan di depan guru lain, BK bahkan di depan orang tua yang dipanggil tentu akan menyakiti perasaan mereka. Mana ada anak sekolah yang bakalan heppy klo orang tuanya dipanggil ke sekolah cuma untuk menjadi saksi curhatan guru BK pada orang tua akibat kenakalannya? Gak ada!

Di usia mereka yang masih remaja, aku lebih suka melonggarkan pada mereka kebebasan untuk menilai diri mereka sendiri, melakukan refleksi bersama mana yang bisa mereka kurangi sedikit demi sedikit dan mana yang belum bisa mereka tinggalkan sama sekali. Hormati proses mereka belajar menemukan kebijakan dan kedewasaan, kita sebagai orang tua, hanya perlu membimbing dan mengarahkan, bukan dengan cara menghukum.

Apakah caraku berhasil? tidak selalu, toh aku ingin membuat mereka punya pilihan untuk bersikap. Jika semua guru bersikap keras dan mengedepankan punishment, mungkin mereka akan disiplin di depan kita, tapi selalu awul2an di belakang. Biarkan mereka punya figur2 berbeda, agar mereka bisa memilih nilai2 baik dari setiap figur dan meninggalkan nilai2 lain yang tidak sesuai dari figur2 tersebut.

8 pemikiran pada “Psikologi Spontan”

  1. Waahh… Ternyata pak priyo… :v Aku padahal sering curhat lho.. Dirimu diam2 menghanyutkan pak… Tp gapapa pak, lebih enak punya guru koyo njenengan.. :v

    Balas
  2. Setuju pakai banget. Kita nggak berhak menghakimi siapapun. setiap orang punya masa lalu dan berhak untuk berubah menjadi lebih baik. terlalu dihakimi malah semakin mental.

    Balas
    • iya mbak Zulfa klo anak seusia itu malah makin membangkang bukannya nurut, klo tujuannya mengarahkan sesuai yg kita mau, bikin dia nyaman untuk berubah

      Balas
  3. Pak Priyo Harjiyono wise sekali.. Ngajar dimana yoo? biar si ucup aku jeblosin ke skolahmu kelak :D. jadi aku punya mata-mata kalo dia naksir cewe yang sama kayak mamahnya :v

    Balas

Tinggalkan komentar

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini