Tahta Cemani

“Segera ke perbatasan dan halau pasukan musuh”

“Laksanakan paduka”

Seorang hulubalang menuruni bukit mengikuti perintah tuan bermahkota di puncak tertinggi bukit itu. Sementara sang raja duduk dengan tegang di atas tahtanya. Hari ini kilau mahkotanya tak mampu membuat hatinya merasa tentram.

“Bagaimanapun aku tidak akan menyerahkan kekuasaanku pada musuhku, apapun resikonya”

Dia memandang ke bawah bukit, anak buahnya sudah tidak nampak beberapa lama, mungkin ia masih terus berjuang menghadang pasukan musuh. Lalu dia melihat anak buahnya itu tergopoh2 menaiki bukit.

“Ampun paduka, pasukan musuh terlalu kuat, kita sudah terkepung, sebaiknya segera menyerah saja”

Beberapa pasukan bersenjata mulai bergegas menghampiri mereka berdua dan mengepung mereka di atas bukit.

“Serahkan tahtamu raja, dan kamu akan kuampuni”

Sang raja melotot tajam pada para penyerangnya, tapi sudah pasti dia telah kalah dalam pertempuran ini.

sampah-ban

“Baiklah, sekarang raja sudah terkepung dan menyerah, sekarang giliran siapa yang jadi raja??” kata komandan pasukan itu.

“Sekarang giliranku” Jawab si hulubalang dengan gembira. Anak2 itu mulai bertukar peran, mereka yang bertugas jadi penyerang kembali turun ke bukit dan bersembunyi di balik pandangan mata. Matahari sore yang panas tak membuat anak2 itu berkurang semangat bermainnya, bagi mereka, seoonggok kursi dari ban bekas usang di atas gunungan sampah adalah tahta yang harus mereka pertahankan selama mungkin sebelum matahari terbenam di kaki langit.

6 pemikiran pada “Tahta Cemani”

Tinggalkan komentar

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini