Apa itu Sekolah 2.0 ? Kenapa menggunakan kode penomoran layaknya sebuah rilis software stabil? Sekolah 2.0 adalah tulisan dari Ir. Cristianto Tjahyadi seorang praktisi di bidang IT, mikrokontrol dan robotika. Penggunaan kode rilis 2.0 mungkin sebagai sindiran bahwa masih banyak sekolah yang menggunakan rilis 1.0, bahkan meski telah mulai meninggalkan paradigma behaviouristik menjadi konstruktivisme. Pun, meski kurikulum mengaku lebih berfokus pada skill, elaborasi IT dalam dunia pendidikan pada akhirnya sebagian besar pembelajaran tetap saja hanya menjadi kembang lambe, pemanis bibir bagi para profesor dan pejabat di dunia pendidikan. Jadi, tulisan ini cukup menarik buatku karena mengkritisi penggunaan teknologi di dunia pendidikan.
Sudah jamak bahwa sekarang katanya guru harus melek IT, kepintaran guru salah satunya diukur dari kemampuan menggunakan perangkat IT, membuat tampilan presentasi menggunakan power point dan menyusun perangkat pembelajaran via Ms. Word atau mengolah data menggunakan Ms. Excel, dangkal sekali.
Aku sendiri kok lebih menyebutnya teknogrogi, dimana orang2 yang tadinya gagap teknologi tiba2 menjadi berlomba2 agar terlihat hi-tech dan kemudian merasa cukup puas hanya karena mampu mempresentasikan sebuah slide power point. Padahal aku sering nemu, power point yang kelewat rame, karena di tiap slidenya disisipi gambar gerak bertipe .GIF. Bukannya bikin siswa fokus pada materi di power point, malah jadi keasikan liatin gerakan gambarnya.
Teknologi, sekali lagi adalah alat bantu, dalam dunia pendidikan teknologi pun hanya berperan sebagai tools, alat, bukan sebagai tujuan atau barang wajib yang selalu harus ada dalam pembelajaran. Sehingga memicu banyak salah kaprah di dunia pendidikan akibat pemaksaan teknologi IT ini.
Selamat membaca kritik membangun untuk pendidikan kita lewat Sekolah 2.0:
-
Jangan menyajikan teknologi ke dalam kelas kemudian berharap hal-hal yang baik akan muncul dengan sendirinya. Berfokus pada perubahan pedagogi, bukan pada teknologi. Pembelajaran 2.0 terkait dengan perubahan hubungan dramatis antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Persiapkan itu dengan benar lalu gunakan teknologi untuk menghadirkan lingkungan pembelajaran kolaboratif, sesuai kebutuhan, dan berfokus pada siswa.
-
Kurangi metoda ceramah. Anda tidak akan memiliki semua jawaban. Selain itu, pengajaran bergaya siaran tidak berhasil untuk generasi ini. Dengarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para siswa. Biarkan mereka menemukan jawabannya. Biarkan mereka menciptakan kembali pengalaman pembelajaran bersama Anda.
-
Berdayakan siswa untuk berkolaborasi. Dorong mereka agar bekerjasama dengan yang lain dan tunjukkan cara mengakses sumber pengetahuan yang tersedia di web.
-
Berfokus pada pembelajaran seumur hidup, bukan pada mengajarkan untuk ujian. Yang penting bukan apa yang mereka ketahui ketika mereka lulus, melainkan kemampuan mereka untuk mencinta pembelajaran seumur hidup. Tidak usah kuatir anak-anak lupa tanggal peristiwa penting dalam sejarah. Mereka dapat mencari informasi itu kapan saja. Berfokus pada mengajari mereka cara belajar, bukan cara mengetahui.
-
Gunakan teknologi untuk mengenal setiap siswa dan menyusun program-program pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kecepatan serap mereka.
-
Rancang program pendidikan berdasarkan delapan norma. Harus ada pilihan, kustomisasi, transparansi, integritas, kolaborasi, hiburan, kecepatan dan inovasi, dalam pembelajaran mereka. Ungkit kekuatan-kekuatan dalam kultur dan perilaku Generasi Internet dalam pembelajaran berbasis proyek.
-
Temukan kembali diri Anda sebagai guru, dosen atau pendidik. Anda pun dapat mengatakan, “Sekarang, saya tidak sabar bangun pagi dan pergi bekerja!”
😀
Pak guru idaman! <3