Peraturan Menteri Pendidikan no 87 tahun 2013 (klik link) tentang pelaksanaan Pendidikan Profesi Guru menuai banyak penolakan di kalangan dunia pendidikan. Berbagai alasan dikemukakan baik dari kalangan pendidik, maupun civitas akademika, tidak terkecuali mereka yang bergerak dalam lingkup jurusan kependidikan.
Adalah benar bahwa seorang guru adalah sebuah profesi, tanpa perlu menambah embel2 pendidikan profesi bagi mereka. Penambahan pendidikan profesi toh hanya dikarenakan di ranah lain sudah banyak pendidikan profesi yang diselenggarakan untuk menunjukkan profesionalisme dalam bidangnya, sebut saja dokter, apoteker, notaris maupun akuntan. Nantinya mereka yang lulus dari PPG mendapat gelar tambahan Gr dibelakang namanya.
Permasalahan terjadi karena kualitas pendidikan kita dianggap masih sangat buruk, meski berbagai program sudah digalakkan kementrian pendidikan toh hasilnya nihil. Guru sebagai ujung tombak pendidikan ini dianggap sebagai biang kerok kegagalan dunia pendidikan. Padahal kita sama2 maklum, kegagalan pendidikan kita tercipta by design, memang diciptakan untuk gagal.
Perubahan kurikulum yang masif, tidak disertai evaluasi menyeluruh terhadap sistem, kementrian hanya melakukan eksperimen dengan menjadikan stakeholder pendidikan seluruh negeri ini sebagai kelinci percobaan. Masih ingatkah betapa getol kementrian mewajibkan perubahan plakat SMP-SLTP-SMP, SMA-SLTA-SMU-SMA, STM/SMEA-SMK, IAIN – UIN, IKIP – UN apa yang berubah dari kualitas penggantian plakat itu? Nihil!!! ya hanya menguras anggaran untuk keperluan penggantian logo, nama, kop surat, stempel, papan nama dan lain sebagainya.
Perubahan dari Ebtanas, UAN, UN, lalu penerimaan mahasiswa baru, entah namanya dimulai dari apa, tapi jelas banyak nama berubah hampir setiap tahun, SPMB, Sipenmaru,UMPTN, SMPTN, SenamPTN, SNMPTN, intine???? Apakah bisa menjaring mahasiswa yang lebih bagus? apakah prosesnya menjadi lebih baik??? klo pun ada, hanya karena penggunaan teknologi informasi nya saja, bukan karena perubahan nama.
Masih ingat, sekitar satu dekade lalu kementrian mewajibkan para sarjana non kependidikan yang ingin menjadi guru harus mengikuti akta IV, belum sempat terselenggara, kementrian sudah mencabut akta IV, diganti dengan akta mengajar, lulusan kependidikan seperti kami, memperoleh ijazah akta mengajar sebagai pendamping ijazah sarjana pendidikan yang kami terima. Pun saat ini dengan semena2 kementrian menyatakan akta mengajar kami tidak memiliki nilai tawar apapun yang membuat kami layak disebut guru di sekolah tempat kami mengajar.
Tiga tahun yang lalu, kementrian lagi2 membuat lelucon yang tidak lucu dengan menyelenggarakan program KKT (Kependidikan dan Kewenangan Tambahan) yang memperbolehkan guru mata pelajaran tertentu mengajar mata pelajaran lain yang tidak ada gurunya. Awalnya program ini terlihat baik, meski sejak awal sangat berbau proyek. Hasilnya pun pada akhirnya tertebak, pemilik sertifikat KKT tidak diakui ketika melamar CPNS untuk formasi yang menjadi kewenangan tambahannya.
Sertifikasi yang digelontorkan kementrian tidak menyelesaikan apapun di ranah kependidikan, para guru mendapat sertifikasi biasanya adalah PNS, yang sudah punya gaji tetap, tunjangan tetap, sementara guru2 honorer tetap saja masih berada di bawah UMR, sertifikasi hanya menjadikan kesenjangan antar guru PNS dan honorer, menciptakan suasana yang tidak kondusif di lingkungan pendidikan, selain itu, menghabiskan anggaran pemerintah sehingga jangankan memperbaiki bidang yang lain seperti ekonomi dan infrastruktur, meningkatkan kualitas pendidikan saja tidak!
Permasalahan PPG bukan hanya masalah profesi, pertama PPG meski ditujukan untuk profesionalisme, apakah ya kementrian mampu menggaji para lulusan PPG ini nantinya secara profesional pula??? Masih banyak guru berpenghasilan perbulan kurang dari 100 ribu, tanpa mampu berbuat banyak karena belum mendapatkan NUPTK, tidak terdata dalam database penerima honorarium daerah apalagi pusat? Ada kolega guru di sekolah yang honor mengajarnya sebulan hanya 20 ribu rupiah, meski sudah mengabdi sejak pertengahan tahun 80-an. Inikah bentuk profesionalisme kementrian pendidikan dalam mengentaskan guru dari kemiskinan?
Mengijinkan PPG diikuti mereka yang berasal dari non kependidikan, dengan hanya menyertakan beban matrikulasi, sama saja kementrian membunuh ratusan ribu sarjana pendidikan dan mereka yang saat ini menjadi mahasiswa kependidikan. Sudah jamak bahwa gelar S.Pd selalu dipandang sebelah mata oleh dunia kerja di luar bidang pendidikan. Karena ilmu yang diberikan memang setengah2, hanya setengah ilmu bidang keahlian yang diajarkan pada mereka, karena mau tidak mau mereka harus dijejali dengan mata kuliah kependidikan, baik yang sifatnya teori, praktik maupun lapangan.
Betapa miris ketika melihat isi peraturan menteri di atas bahwa beban PPG untuk lulusan kependidikan yang ingin mengajar di jenjang SMP-SMA setara dengan lulusan non kependidikan. Ini adalah hal yang sangat konyol, kami di jurusan kependidikan sudah mempelajari hal2 yang diperlukan untuk mengajar di lingkungan SMP-SMA, kami telah menghabiskan waktu untuk mempelajari materi tentang kurikulum, pembelajaran, pedagogis, penilaian, pengajaran mikro, bahkan kami sudah diterjunkan untuk mengajar di lingkungan SMP-SMA-SMK sesuai dengan bidang kami. Kurikulum yang kami terima adalah kurikulum yang didesain sendiri oleh kementrian bekerja sama dengan almamater kami, sekarang dengan adanya PPG, kementrian pendidikan menjilat ludahnya sendiri dengan menyatakan kurikulum yang mereka berikan pada kami tidak mereka akui, haruskah berteriak WAOOOOOWWWW dengan sangat kerass ???!!!!
Untuk mengikuti PPG ada satu lagi syarat yang lumayan berat, mengikuti program SM3T yaitu program untuk mengirimkan calon guru ke wilayah2 terpencil selama satu tahun, ya untuk layak disebut Guru, seorang calon guru/guru yang sudah mengajar harus rela dibuang jauh ke ujung negeri ini, dan harus menyatakan diri tidak akan menuntut diangkat sebagai PNS kelak setelah selesai. PPG lebih tepat disebut Program Pembodohan Guru, tanpa program SM3T, bukan berarti para guru tidak pernah mengabdi untuk pendidikan di negeri ini, banyak diantara para guru mengelola PKBM, mengajar di sekolah2 jalanan, membantu pemberdayaan masyarakat tanpa mengharapkan pamrih dari pemerintah, jadi klo harus mengikuti program SM3T hanya karena kementriannya berasumsi gurunya kurang sengsara, memang menteri dan anak buahnya saja yang kurang ajar.
Apa sih yang ada dalam PPG, dalam peraturan menteri terasa lucu karena isinya hanya dua garis besar, pertama adalah materi tentang pembelajaran, yang kedua adalah penerjunan PPL. Lucu, karena kami harus mengulang lagi materi yang sudah pernah diajarkan pada kami, dan kami harus diterjunkan PPL dua kali hanya untuk menjadi guru?
Lalu bagaimana teknis pelaksanaan PPL untuk mahasiswa non kependidikan??? Apakah durasi PPLnya dilaksanakan selama 2 periode semester? atau sama bebannya dengan mahasiswa kependidikan?
Apakah ada kurikulum baru yang ditawarkan program PPG untuk mahasiswa kependidikan? Saya yakin tidak ada, kalaupun ada, hanya akal2an kementrian merubah nama mata kuliahnya saja sehingga terlihat menjadi mata kuliah yang belum pernah diajarkan, tetapi intinya tetaplah sudah pernah disampaikan selama kami mengikuti perkuliahan di lingkungan kependidikan. Berani bertaruh, dosen yang akan mengajar dalam PPG pun adalah dosen yang sama dengan dosen2 yang mengajari kami materi pembelajaran, secara logis, dosen tersebut pastinya sudah membekali kami dengan apa yang beliau ketahui tentang dunia pendidikan selama mengajar kami di jenjang kependidikan, jadi apakah kami akan mendapatkan ilmu yang benar2 baru dari program ini?? Selain pemaksaan pengenalan materi kurikulum 2013 saya rasa tidak.
Institusi penyelenggara program kependidikan pun seharusnya mulai berfikir, dengan carut marutnya arah pendidikan ini, sudah selayaknya para rektor universitas kependidikan dan para guru besarnya mengajukan keberatan terhadap program2 semacam ini. Apa untungnya membuka jurusan kependidikan, jika pada akhirnya lulusan mereka tidak memiliki daya saing apapun dengan lulusan non kependidikan.
Apa untungnya bagi kami masuk ke kampus kependidikan jika pada akhirnya sisa lahan pekerjaan yang diperuntukkan untuk kami pun harus kami perebutkan dengan mereka yang memiliki basic ilmu murni. Anak2 muda akan berfikir, lebih baik mereka memilih kampus2 lain baik negeri maupun swasta yang mampu membekali mereka disiplin ilmu pasti, dan saat mereka ingin bekerja dalam lingkungan pendidikan, cukuplah mengikuti program PPG yang hanya satu-dua tahun.
Betapa menyenangkannya menjadi orang2 di atas, para profesor, guru besar dan pejabat di lingkungan kementrian pendidikan yang ingin menyengsarakan para guru dan calon guru, yang harus berjuang sedemikian rupa dan hanya untuk mendapatkan gaji honor dibawah UMR, tanpa mendapatkan jaminan kesehatan apapun. Pantas saja menjadi guru adalah hal yang paling dihindari anak2 kita di negeri ini. Jadilah dokter, jadilah insinyur, jadilah pilot, jadilah astronot, tapi haram hukumnya menjadi guru di negeri ini
kalau untuk mengikuti pendidikan profesi boleh dari jurusan di luar bidangnya, kok saya malah lebih milih ngambil profesi Dokter/ Notaris/ Akuntan/ Apoteker yang lebih bisa dipake buat buka usaha sendiri, sayangnya, tidak mungkin ngambil profesi2 di atas kalau bukan dari jalurnya sendiri. Perkecualian buat profesi guru, semua boleh ikut. Miris banget
Novia Riza bener mas, klo dibeban sama, berarti ilmu kita selama kuliah kependidikan tidak dianggap sama sekali, memang dalam PPG materi perkuliahannya kependidikan, tapi ini sama saja mengebiri mahasiswa dan alumni kependidikan
Intinya Mereka Non Kependidikan Harus Menempuh Apa Yang Kita SArjana Kependidikan Tempuh! Bukan Matrikulasi. Dan Hasilnya Adalah Pendidik Bukan Pengajar. ( PEace For All)
Saya Setuju 10000000000000 %, Semoga Peraturan Baru ini di Gugurkan Allah SWT. Aamiin. JAdi Non Kependidikan Tetap tidak bisa menyamai Kependidikan.
saya setuju dengan pernyataan diatas
memang inilah pendidikan indonesia.tuntutan sangat besar tetapi PEMIKIRAN INSTAN yang menimbulkan pembodohan. pada intinya menurut saya seperti orang yang sakit tetapi bukan dirawat oleh dokter atau suster tetapi oleh seorang teknisi.hahahaha
KAPAN PENDIDIKAN INDONESIA MAJU JIKA PEMIKIRAN BODOH SEPERTI INI DILANJUTKAN….
orang indonesia memang TOP BANGET……
Setuju…..
Yen ora setuju…. Kampuse udu pendidikan berarti… otomatis ra dong opo kui Guru ahhahahaha…..
Sori yo Indonesia butuh pendidikan dudu pengajaran 😛