Tuntutan Tunjangan Hari Raya atau THR ojek online (ojol) kembali mencuat menjelang perayaan Lebaran. Berita Seputar Ojek Online Di Indonesia ini menjadi perhatian publik karena menyangkut kesejahteraan pengemudi yang tergabung dalam platform ride-hailing. Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menyatakan bahwa pemerintah masih mengkaji kemungkinan pemberian THR bagi mitra ojol dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan pengemudi dan keberlanjutan bisnis aplikator.
Proses Perumusan dan Respons Aplikator
Dalam konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu (19/2/2025), Yassierli menegaskan bahwa pembahasan THR ojek online masih dalam tahap perumusan. Ia menyebutkan bahwa meskipun beberapa aplikator telah merespons tuntutan pengemudi, keputusan akhir masih dalam tahap diskusi di tingkat kementerian.
“Kami masih menggodok kebijakan ini. Proses komunikasi dengan Dirjen dan pihak terkait masih berlangsung sehingga belum ada keputusan final,” ujarnya.
Seiring dengan diskusi kebijakan ini, para pengemudi ojol melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada Senin (17/2/2025). Namun, aksi tersebut tidak berjalan maksimal karena sebagian besar pengemudi enggan berpartisipasi akibat ancaman pemutusan kemitraan dari aplikator. Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), selaku koordinator aksi, mengungkapkan bahwa jumlah peserta yang awalnya diperkirakan mencapai 1.000 orang berkurang drastis akibat kekhawatiran terhadap sanksi dari pihak platform.
Hambatan Regulasi dalam Implementasi THR Ojek Online
Dikutip dari Website Informasi Berita Harian Ojek Online salah satu kendala utama dalam realisasi tuntutan THR adalah belum adanya regulasi yang mengatur hubungan kerja antara aplikator dan mitra pengemudi. Direktur Ekonomi Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan bahwa peraturan terkait transportasi online saat ini tersebar di berbagai kementerian.
Sebagai contoh, tarif transportasi daring berada di bawah kewenangan Kementerian Perhubungan, regulasi kemitraan ada di Kementerian UMKM, sementara hubungan antara platform dan mitra pengemudi dikategorikan sebagai kemitraan yang belum diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan.
“Sistem kemitraan ini tidak memiliki dasar hukum yang jelas untuk pemberian THR. Jika ingin diimplementasikan, perlu ada rumusan spesifik mengenai besaran dan metode penghitungannya. Apakah berdasarkan pendapatan rata-rata per bulan atau hanya pendapatan bulan terakhir? Hal ini masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab,” jelas Nailul Huda.
Dampak Ekonomi dan Keberlanjutan Industri Ride-Hailing
Jika skema THR bagi pengemudi ojol diwajibkan tanpa regulasi yang matang, dikhawatirkan akan menambah beban finansial bagi perusahaan platform digital. Nailul Huda menekankan bahwa jika kebijakan ini diterapkan, maka aplikator harus menanggung biaya tambahan untuk jutaan mitra yang tersebar di berbagai wilayah.
“Jika perusahaan ride-hailing harus memberikan THR kepada mitra pengemudi, maka industri lain yang berbasis kemitraan, seperti agen bank dan pedagang di platform e-commerce, juga berpotensi menuntut hak serupa. Ini bisa menciptakan tekanan ekonomi bagi perusahaan digital,” tambahnya.
Sebagai solusi alternatif, Celios mendorong pemerintah dan aplikator untuk mengembangkan sistem perlindungan sosial yang lebih komprehensif bagi pengemudi ojol. Program seperti asuransi kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, serta skema perlindungan pendapatan dinilai lebih realistis dan berkelanjutan dibandingkan pemberian THR.
Apa Solusi Permasalahan Ojek Online?
Persoalan THR bagi mitra ojol mencerminkan tantangan besar dalam ekosistem ekonomi digital di Indonesia. Di satu sisi, pengemudi membutuhkan perlindungan finansial yang lebih baik, sementara di sisi lain, perusahaan harus mempertimbangkan aspek keberlanjutan bisnis mereka. Tanpa regulasi yang jelas, pemaksaan kebijakan THR berisiko menciptakan ketidakpastian bagi semua pihak yang terlibat.
Permasalahan ini berakar pada status hukum pengemudi yang masih dikategorikan sebagai mitra, bukan pekerja tetap, sehingga mereka tidak berhak atas tunjangan seperti THR. Untuk mengatasi masalah ini secara jangka panjang, solusi harus melibatkan sinergi antara pemerintah sebagai regulator, perusahaan platform sebagai penyedia layanan, dan mitra pengemudi sebagai tenaga kerja utama dalam ekosistem transportasi daring.
1. Solusi Regulasi oleh Pemerintah
Pemerintah perlu menyusun regulasi yang lebih jelas mengenai hubungan kerja antara platform digital dan pengemudi ojek online. Beberapa langkah yang dapat diambil:
- Reformasi Regulasi Kemitraan: Saat ini, pengemudi ojol dikategorikan sebagai mitra yang bekerja secara independen, sehingga tidak memiliki hak atas THR. Pemerintah bisa mengembangkan regulasi khusus bagi gig workers dengan pendekatan “pekerja berbasis platform” yang mengakomodasi fleksibilitas kerja namun tetap memberikan perlindungan sosial.
- Penyusunan Skema Perlindungan Sosial: Pemerintah bisa mendorong platform untuk ikut serta dalam program jaminan sosial berbasis kontribusi, seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Jaminan Hari Tua, sehingga pengemudi mendapatkan jaminan keuangan di saat tertentu, termasuk menjelang hari raya.
- Pemberlakuan Aturan Tarif Minimum yang Memungkinkan Insentif Hari Raya: Dengan memastikan tarif minimum yang adil, perusahaan platform bisa lebih fleksibel dalam memberikan bonus tahunan atau insentif hari raya bagi mitra pengemudi tanpa merugikan keberlanjutan bisnis.
2. Solusi dari Perusahaan Platform
Sebagai penyedia layanan, perusahaan ride-hailing memiliki tanggung jawab dalam menciptakan ekosistem yang adil dan berkelanjutan bagi para mitra pengemudi. Langkah-langkah yang dapat ditempuh antara lain:
- Mekanisme Insentif Hari Raya: Daripada mewajibkan THR seperti pada pekerja tetap, platform dapat memberikan insentif hari raya berdasarkan kinerja atau tingkat keterlibatan mitra dalam periode tertentu. Misalnya, mitra yang aktif dalam 6 bulan terakhir berhak mendapatkan bonus berbasis persentase dari total pendapatannya.
- Dana Kesejahteraan Berbasis Crowdfunding Internal: Platform bisa membentuk dana kolektif dari sebagian kecil komisi yang diambil dari setiap perjalanan, yang kemudian dikembalikan dalam bentuk bonus atau bantuan bagi pengemudi menjelang hari raya.
- Kemitraan dengan Bank atau Lembaga Keuangan: Platform dapat bekerja sama dengan bank atau fintech untuk memberikan layanan tabungan otomatis bagi mitra pengemudi yang bisa dicairkan saat menjelang hari raya.
3. Solusi bagi Mitra Pengemudi
Mitra pengemudi sebagai bagian dari ekosistem juga perlu diberdayakan untuk memastikan kesejahteraan mereka jangka panjang. Beberapa langkah yang dapat dilakukan:
- Kemandirian Finansial melalui Edukasi Keuangan: Pelatihan pengelolaan keuangan bagi mitra pengemudi bisa membantu mereka menabung sebagian pendapatan mereka untuk kebutuhan hari raya tanpa tergantung pada THR dari platform.
- Membangun Koperasi atau Serikat Mandiri: Pengemudi bisa membentuk koperasi atau serikat mandiri yang mengelola dana sosial berbasis iuran kecil dari anggotanya, yang kemudian bisa digunakan sebagai dana cadangan menjelang hari raya.
- Diversifikasi Sumber Pendapatan: Pengemudi bisa didorong untuk memanfaatkan layanan ride-hailing sebagai bagian dari strategi pendapatan mereka, misalnya dengan berpartisipasi dalam layanan pengantaran barang atau kemitraan bisnis lain yang tersedia dalam ekosistem platform.
Masalah THR bagi pengemudi ojol seharusnya tidak dilihat sebagai isu tunggal, tetapi sebagai bagian dari kebutuhan reformasi ekosistem kerja berbasis platform di Indonesia. Pemerintah perlu memberikan regulasi yang lebih jelas dan memberikan ruang bagi perlindungan sosial. Perusahaan platform harus lebih proaktif dalam menciptakan skema kesejahteraan yang fleksibel bagi mitra mereka. Sementara itu, pengemudi juga perlu diberdayakan agar lebih mandiri secara finansial. Dengan pendekatan kolaboratif ini, kesejahteraan mitra ojol bisa terjamin tanpa membebani satu pihak secara tidak adil.
Pemerintah, aplikator, dan perwakilan pengemudi perlu duduk bersama untuk merumuskan solusi terbaik. Pendekatan yang lebih terstruktur, seperti regulasi perlindungan sosial berbasis kontribusi antara aplikator, konsumen, dan mitra pengemudi, dapat menjadi jalan tengah yang lebih berkelanjutan dibandingkan sekadar pemberian THR. Dengan demikian, kesejahteraan pengemudi dapat tetap diperhatikan tanpa mengorbankan keberlangsungan industri ride-hailing di Indonesia.