Indonesia dikenal dengan keramah tamahan masyarakatnya, murah senyum dan tepa selira, budaya yang dikenal permisif dan ewuh pekewuh terhadap sesamanya. Kondisi ini adalah kondisi yang menguntungkan masyarakat Indonesia, tetapi tentu saja setiap kondisi adalah pedang bermata dua, di satu sisi menguntungkan, disisi lain ada kerugiannya juga.
Keuntungannya adalah masyarakat Indonesia dianggap ramah, terbuka terhadap orang2 dari negara lain dan memiliki rasa toleransi tinggi, kerugiannya, terkadang saking permisifnya maka kita hampir tidak memiliki nilai tawar terhadap masuknya budaya asing yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa kita sendiri.
Contoh saja, dalam lingkungan orang jawa dikenal istilah ewuh pakewuh, perasaan segan atau sungkan untuk menegur dan cenderung mengizinkan orang lain dalam melakukan aktifitasnya. Ewuh pekewuh memang baik, karena berarti menghormati hak dan privasi orang lain, disisi lainnya perasaan ini banyak mengakibatkan pembiaran terhadap pelanggaran norma sosial yang berlaku di lingkungan sekitar.
Sebut saja, jika jaman dahulu membawa anak orang jalan2 sampai tengah malem itu haram hukumnya, sekarang ini justru hukumnya mubah, terserah, sing penting asal bali slamet, sendal+klambine utuh wae #akurapopo. Masalah apa yang dilakukan mereka selama berkeliaran itu biar hanya mereka dan Tuhan yang tahu, padahal hal semacam ini, meski tidak selalu, berpotensi pada perusakan moral anak tersebut.
Main judi, minum2an keras, seolah2 menjadi halal di sebagian tempat, dengan alasan sing penting ora marake ribut, halal. Ora ngganggu wong turu, halal, ora nyolong, halal. Pada akhirnya muncul kelompok2 perusak tatanan yang akan berkembang pesat karena didiamkan dan seolah2 diterima di lingkungan tersebut.
Jaman dulu, tidak ada istilah kelas akselerasi untuk kelahiran, tapi dewasa ini, banyak sekali akselerasi masa pre-natal yang terjadi, usia kehamilan baru 2-5 bulan, anaknya sudah lahir, hebatnya tidak prematur pula. Lha piye? ijabe bulan januari saiki wis lairan! Bahkan ilmu primbon pun tidak sehebat itu bisa mempercepat usia kehamilan bayi.
Tentu saja ini bukan berarti menggugat eksistensi si bayi, si bayi tetaplah anak yang tidak berdosa dan tetap harus mendapatkan hak2nya sebagai anak, warga masyarakat dan warga negara, tapi menggugat kelakuan orang tua dan lingkungannya yang seolah2 tidak mengikuti aturan main dan hukum yang berlaku. Lha wong wis kedaden, piye meneh? selalu begitu, eh ada yang dulu kejedoran duluan sama pacarnya, sekarang setelah diperistri, hamil dan melahirkan lagi dari hasil selingkuh, trus aku kudu kepiye??
Satu lagi pembiaran yang kerap terjadi adalah aktifitas homoseksual, transgender, waria, banci2 jalanan yang seolah2 dibiarkan ada begitu saja, tidak lagi dianggap penyimpangan berarti di masyarakat, baru setelah terjadi kasus besar, barulah orang2 ramai mengutuk. Kalau di jalan ada cowok tiba2 deketin cewek trus grepe2 pasti si cowok langsung babak belur dihajar massa, tapi klo ada banci tiba2 deketin cowok di jalan, grepe2, orang2 pasti ngebiarin aja, ngetawain, sing penting udu aku sik keno.
Ini adalah masalah sosial, banci, transgender dan kaum homoseks adalah masalah sosial yang dibiarkan dan selalu berlindung dibalik nama HAM, kesetaraan, pilihan hidup, kebebasan dan lain sebagainya. Kita seolah menjadi ewuh pekewuh untuk memperingatkan mereka, menyadarkan mereka, bahwa pilihan itu salah dan rentan terhadap kekerasan maupun penyakit seksual.
Melihat kasus pedofilia yang terjadi pada anak2 TK di JIS maupun yang dilakukan emon di sukabumi, dan kasus pembunuhan berantai oleh maho bernama Ryan beberapa tahun lalu, maka bukan hanya darurat seks untuk anak, tapi untuk kita semua. Kita semua dan juga anak2 kita berpotensi untuk menjadi korban pelecehan dari orang2 yang memiliki penyakit seks menyimpang.
Lalu dengan budaya permisif kita? Kita bisa apa?