Don’t Have to Say

“Temui aku di Maroko Cafe”

Sebait pesan singkat dari Mia dipenghujung sore ini mengharuskanku memacu kendaraanku ke selatan kota Jogja, tempat dimana kami biasa menghabiskan waktu mengerjakan tugas dari dosen2 kami yang menyebalkan.

Kutemukan dia mematung di sudut gazebo beraksen Afrika utara dengan dua buah lampu dinding klasik khas timur tengah, sementara sebuah kertas kusut tergeletak di atas meja, sepucuk surat dengan kop resmi, akupun melangkahkan kaki masuk dan memungut surat itu.

Mia berpaling ke arahku dan duduk dengan malas, matanya menatapku dengan penuh rasa kesal namun sengaja membiarkanku menghabiskan tulisan dalam kertas kusut itu. Hatiku sedikit berdesir pada sebuah kalimat di dalamnya, namun aku berusaha menguasai diriku.

“Lalu? ” aku memberanikan diri bertanya

“Aku tidak suka ditikam dari belakang” sungutnya kesal

“Pertunanganku sudah berjalan tiga bulan, seharusnya kami menikah lima bulan lagi, kenapa dia tetap memutuskan untuk meneruskan kuliahnya di Osaka sedangkan…”

Seorang pramusaji muncul untuk mengantarkan pesananku, benar2 perusak suasana mungkin itu yang kutangkap dari sorot mata Mia yang merasa ucapannya harus terpotong.

“Bukannya itu bagus, setidaknya ketika dia kembali masa depan kalian lebih cerah?”

“Bagus apanya? Aku tidak terlalu peduli dengan gelar2nya, toh selama ini kami sudah cukup bahagia dengan pertunangan ini, aku rasa ini cuma keinginannya untuk menunda pernikahan, karena… “

Mia nampak ragu meneruskan dan aku tetap diam menunggu kalimat berikutnya meluncur dari bibir mungilnya.

“…aku tahu dia mencari Vania di Osaka, setidaknya aku pernah mendengarnya berbicara dengan Vania ditelepon…”

Aku masih berusaha memilih kata yang harus aku ucapkan padanya, sekiranya bisa menunjukkan aku berada diposisinya

“Tapi setidaknya….” dia melanjutkan

“Aku sudah memutuskan” senyumnya mulai mengembang dan matanya melirik nakal padaku.

Kemudian ia mengangkat tangan kirinya ke arah mukaku,

“I’m avaliable now”

Tidak ada lagi warna emas yang melingkar di jari manisnya, aku pura2 terkejut melihatnya,

“Kamu ngebatalin pertunanganmu gitu aja?”

“Yah, apa mau dikata, aku nggak pengen terlalu dibebani dengan pikiran tentang dia selama di Osaka, jadi kuputuskan lebih mudah baginya…”

Kulihat ia berusaha memaksakan diri mengatakannya padaku, i know bukan hal mudah baginya membatalkan pertunangan dengan seorang lelaki yang sudah ia incar sejak pertama kali kami masuk di bangku kuliah.

Aku meraih jus mangga pesananku, dan mencuri2 pandang pada raut wajahnya yang sudah lebih tenang, ya aku tahu aku tak cukup berani mengungkapkan perasaanku padanya, bahkan ketika ia menyatakan dia avaliable, mungkin aku takut kehilangannya setelah aku memilikinya, entahlah yang aku tahu aku merasa tenang disampingnya dan ia selalu merasa nyaman untuk membagi perasaannya denganku.

Don't Have to Say m224645015
sometimes, love was spoken as behavior not as word

Suara Gerard Joling terdengar sayup sayup dari speaker di ruang kasir.

We don’t have to say the words
We live by the love that’s in our eyes

If we’re feeling good or bad
We don’t have to say it
We don’t have to say

the words

2 pemikiran pada “Don’t Have to Say”

Tinggalkan komentar

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini