Indonesia dikenal sebagai negeri dengan masyarakat yang memiliki semangat bergotong royong yang tinggi di dalam kehidupan sehari-hari. Budaya ini merupakan salah satu kearifan bangsa yang tidak hanya diakui negeri sendiri tapi juga oleh negara lain, terbukti Indonesia terpilih sebagai peringkat pertama dalam indeks yang disusun oleh Charities Aid Foundation.
Budaya gemar menolong ini menjadi kekuatan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik dan mencapai cita-cita bersama dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perasaan persamaan nasib selama masa penjajahan membuat rasa kesetiakawanan sosial antar elemen masyarakat terbangun, banyak petani dan pedagang yang mendukung para pejuang kemerdekaan dengan berbagi makanan, maupun harta benda yang mereka miliki. Kesamaan visi untuk terlepas dari penjajahan inilah yang membuat masyarakat mengesampingkan latar belakang masing-masing untuk mencapai tujuan bersama, Indonesia merdeka. Ir Soekarno dalam pidatonya di sidang BPUPKI 1 Juni 1945 menyampaikan, bahwa kemerdekaan Indonesia adalah jembatan emas untuk kebebasan berpolitik
Pidato Ir Soekarno tersebut kemudian diejawantahkan dalam bentuk Pancasila sebagai dasar negara, ada lima nilai yang ada dalam Pancasila yang sebenarnya merupakan rangkuman dari nilai-nilai baik yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia yang berketuhanan, suka menolong, dan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan sebagai sebuah bangsa, hal baik ini kemudian diwariskan dalam bentuk semangat bergotong royong dengan masyarakat sekitar.
Di desaku sendiri, hampir setiap 2 minggu sekali, warga melakukan gotong royong untuk melakukan bersih desa, mempersiapkan hari besar nasional maupun perayaan keagamaan, apalagi menyambut dua hari besar di bulan Agustus ini, hari raya idul adha dan hari kemerdekaan 17 Agustus mendatang, warga kami bergotong royong melakukan berbagai kegiatan mulai dari membersihkan lingkungan desa, membersihkan masjid, mempersiapkan lomba anak, mempersiapkan penyembelihan hewan kurban, serta tirakatan. Tirakatan sendiri adalah pertemuan warga untuk memperingati kemerdekaan Indonesia yang umum dilakukan di daerah Jawa, biasanya diisi dengan refleksi mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara.
So, apa sih yang bisa kita lakukan sebagai seorang netizen di dunia digital untuk ikut serta bergotong royong?
Kita tahu, kemajuan teknologi telah memberikan semakin banyak tantangan baru kepada bangsa ini, peluang baru yang muncul dengan adanya teknologi baru ini juga dibarengi dengan maraknya permasalahan baru yang belum pernah dialami oleh generasi sebelumnya. Tantangan bangsa ini misalnya isu keuangan internasional yang belum pernah ada sebelumnya seperti Bitcoin, munculnya emerging ecomonic dimana perusahaan multinasional bisa dengan mudah melakukan bisnis dengan pelanggan di Indonesia, dan yang tidak kalah riskan adalah munculnya tantangan radikalisme, korupsi, pornografi, penyalahgunaan narkoba, dan munculnya paham yang bertentangan pancasila, seperti ide pendirian negara khilafah di Indonesia atau melakukan aksi terorisme terhadap penegak hukum.
Prof Henri Subiakto saat menyampaikan materi di Forum Aksi Pendekar Pancasila menyatakan, apa sih yang membuat Indonesia berbeda dengan negara-negara arab post Ottoman?
Di Arab sana, munculnya ide kekhalifanan karena mereka dulunya adalah satu kesatuan di bawah Ottoman yang tercerai berai menjadi state of nation berupa negara-negara modern mulai dari ujung barat afrika, hingga timur tengah. Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, Indonesia berasal dari berbagai kerajaan yang ada di nusantara yang saling terpisah satu sama lain, kemudian memilih menggabungkan diri sebagai satu kesatuan dalam bingkai NKRI. Ide khilafah mungkin tepat jika berada di timur tengah yang memang menginginkan romantisme kejayaan Ottoman, tapi tidak dengan Indonesia.
Sebagai seorang blogger, tentunya hal ini menjadi sebuah keprihatinan. Banyak hal di Indonesia ini yang sebenernya kecil dan biasanya ditanggapi biasa dalam komunikasi verbal, tapi karena muncul dan viral di media sosial akhirnya memicu kemarahan banyak orang.
Cindy Gula sebagai salah satu pemateri di Forum Aksi Pendekar Pancasila menyatakan, sebenarnya kecanggihan teknologi dapat dilakukan untuk bergotong royong misalnya dengan adanya situs change.org, situs crowdfunding seperti Kitabisa.com dan masih banyak lagi.
Di Jogja sendiri, kami menggunakan media sosial dan internet untuk saling memberikan informasi kepada orang lain atau mencari dukungan publik ketika ada ketidakpasan dalam kehidupan bermasyarakat maupun kebijakan pemerintah yang dinilai kontraproduktif, misalnya.
Beberapa tahun silam, akibat keresahan rekan-rekan blogger Jogja dengan kata kunci “cewek jogja” yang menampilkan hasil berdenotasi negatif, maka dimulailah campaign untuk membersihkan kata kunci cewek jogja di hasil pencarian google dengan menulis konten positif mengenai cewek jogja.
Sebagai kota dengan potensi bencana tinggi, warga Jogja pernah mengalami kekacauan akibat adanya hoax pada saat gempa Jogja, masyarakat dari pesisir selatan lari ke utara karena hoax akan terjadi tsunami, sementara masyarakat di lereng merapi ketakutan karena adanya hoax gunung merapi akan segera meletus. Sejak itulah dimulai tindakan mitigasi yang lebih baik, persiapan dan proses penanganan tanggap bencana di Jogja sendiri bisa dibilang baik, para akademisi dan programmer, menyiapkan aplikasi yang terintegrasi dengan Google Maps pada saat terjadi letusan merapi 2010, masyarakat bisa menghitung jarak radius lokasi rumahnya dari puncak merapi untuk meningkatkan kewaspadaan.
Di Facebook, berdiri komunitas Info Cegatan Jogja, komunitas yang awalnya ditujukan untuk memberi tahu warga tentang adanya aktifitas razia kendaraan bermotor ini, kemudian tumbuh untuk menjadi komunitas yang menginformasikan berbagai permasalahan yang terjadi seputar jalan dan kendaraan di Jogja, mulai dari adanya aktifitas penertiban, kecelakaan, tindak kriminal, info sim keliling dan lain sebagainya, grup facebook ini sendiri saat ini memiliki lebih dari 900 ribu anggota.
Pada tahun 2014, saat Jogja melakukan rebranding logo kota dengan menggandeng konsultan advertising ini memicu kritik keras karena hasil rebranding logo tidak terkesan mencerminkan budaya masyarakat Jogja. Para seniman, kemudian berbondong-bondong menyumbangkan desain-desain orisinal mereka secara gratis ke pemerintah daerah agar dapat digunakan sebagai logo baru Jogja.
Dan yang terakhir kali, saat terjadi kasus intoleransi pelarangan warga non muslim tinggal di salah satu dusun di Bantul, netizen Jogja bergerak cepat dengan memviralkan kasus tersebut ke sosial media. Keriuhan di sosial media ini kemudian memancing perhatian para pejabat di tingkat kabupaten dan provinsi yang akhirnya terjun langsung untuk melakukan investigasi dan memediasi permasalahan.
Dari berbagai contoh soal di atas, kita bisa melihat bahwa, kekuatan komunal masyarakat masih memiliki power untuk dapat bersama-sama mencegah hal-hal tidak baik yang terjadi di sekitar kita. Rasa tenggang rasa dan kebersamaan kita sebagai satu bangsa yang berasal dari latar belakang berbeda itulah yang akan menjaga bangsa kita dari hal-hal negatif yang akan mencederai bangsa ini.
So, mari berperan bersama bergotong royong di dunia digital dengan cara mengupload konten-konten positif dan inspiratif agar membendung konten negatif di dunia maya.