Antareja terdiam, dadanya penuh sesak oleh pikiran2 yang menggelisahkan. Dihadapannya, sesosok manusia yang konon maha bijak, manusia titisan dewa, Sang Hyang Kresna memintanya untuk menjilat telapak kakinya sendiri.
Matanya nanar menatap Narayana Kresna, permintaan ini bukanlah permintaan sembarangan, karena Sri Kresna pun mengenal baik kesaktian Antareja. Tidak ada manusia dan dewa yang mampu menahan kesaktian Upasanta. Mengapa penasihat Pandawa ini menyarankan seorang ksatria pilih tanding sepertinya untuk bunuh diri sebelum Bharatayuda daripada mengangkatnya menjadi senopati untuk membunuh pasukan Kurawa dengan jilatan lidahnya. Ialah sulung Bimaputra, kakak tiri Gatutkaca yang jauh lebih tinggi kesaktiannya. Ialah pemilik Upasanta, bisa air liur yang akan membunuh makhluk apapun yang dijilatnya, sisik Napakawaca membuatnya kebal senjata, dan dengan Mustikabuminya ia akan menghidupkan semua ksatria Pandawa yang mungkin mati di medan laga.
Antareja bersemedi cukup lama dan menutup mata dalam2, setelah sekian lama ia menghembuskan nafasnya dengan berat dan panjang.
“Baiklah, jika itu permintaan wa Kresna, dan demi kemenangan para Pandawa”
Antareja pun berlutut dan menjilat telapaknya sendiri, maka moksalah ia beserta segenap kesaktiannya sebagai tumbal kemenangan Pandawa di medan Kurusetra.
Narayana tersenyum getir, ia mengeluarkan kitab ramalan kisah Bharatayudha, sirnalah nama Antareja dalam daftar Ksatria Kurusetra, tinggal satu Ksatria lagi yang harus ia singkirkan dari daftar itu, kakaknya sendiri, Kakasrana sang Baladewa.
Ialah sulung Bimaputra dari kitab2 karangan pujangga tanah Jawa. Ksatria pinilih yang melewatkan Bharatayudha dengan menjadi tumbal kemenangan para Pandawa