Beberapa tahun ini aku sudah cukup jenuh mendengar kata “Hukum” mulai dari sistem hukum, aparat penegak hukum, produk hukum, penegakan hukum, negara hukum, secara hukum, masalah hukum dan bla bla bla hukum lainnya. Betapa aku jenuh mendengar kata hukum yang setiap hari tak pernah luput keluar dari televisi, koran dan media2 informasi lainnya.
Mengapa jenuh??? mengutip syair lagu Teknoshit
….karena hukum tak pernah berpihak ke kita….
Yup hukum, sebuah kata yang syarat makna tentang kehidupan kita, mengikat erat sebagai dasar aturan dan cara hidup kita berbangsa dan bernegara. Sebuah kata suci yang menyiratkan harapan bahwa hukum harus ditegakkan demi keadilan… namun benarkah demikian???
Tidak seorangpun pejabat kita akan membantah bahwa negara ini negara hukum, tidak seorang penegak hukumpun yang akan menafikan hukum harus ditegakkan, tidak seorangpun yang setuju hukum harus dihapuskan dari negeri ini. Hukum hukum dan hukum.
Namun berapa banyak produk hukum di negeri ini yang dilaksanakan, berapa banyak perundang2an kita yang ditegakkan, apakah negeri kita disebut negara hukum hanya karena berhasil menelorkan ratusan produk hukum setiap tahunnya??
Pun demikian tak banyak pejabat di negeri ini, tak banyak anggota2 dewan terhormat dan para penegak hukum yang sadar bahwa HUKUM adalah suatu cara, sebuah proses untuk mencapai tujuan yang tidak lain adalah rasa keadilan. Mereka sibuk mengagendakan penyusunan ratusan produk hukum namun tidak…. tidak sekali2 mengagendakan satupun penyusunan produk keadilan.
Aku bahkan belum pernah mendengar seorang pejabat pun dinegeri ini yang menyebut negara ini negara keadilan, tidak satupun selama ini.
Kita yang selalu berorientasi pada hukum, menyadari semua harus taat hukum karena hukum adalah panglima di negeri ini yang berhak mengatur hidup orang banyak, tapi sedikit yang menyadari bahwa hukum bukanlah tujuan.
Hukum merupakan sebuah sistem untuk menciptakan keadilan, upaya hukum adalah upaya untuk mencapai tujuan keadilan. Hukum hanyalah alat, hanyalah jalan pendekatan pada keadilan. Tapi kenyataan yang terjadi hukum menjadi alat pembenaran untuk mengayomi penguasa, dan menindas yang lemah, kelemahan2 hukum dijadikan alasan untuk membela diri, bukan untuk digali kelemahannya dan dicari solusi untuk mendapat keadilan.
Apa yang terjadi di ranah politik dan hukum negeri kita begitu menjemukan, semua pejabat begitu berorientasi pada hukum, pada lembaran2 tua yang mungkin sudah lapuk puluhan tahun, tidak berani melakukan terobosan keadilan dengan menerobos ikatan2 hukum yang ada. Sebagai contoh lihat betapa sulitnya PPATK dan BPK memberikan data kepada DPR hanya karena takut disebut melanggar hukum, sedangkan kita sudah terlalu jemu dengan pembela2an semacam itu, menggunakan payung hukum untuk melukai hati rakyat, kita tidak lagi memerlukan terobosan2 hukum namun lebih kepada terobosan keadilan yang lebih efektif.
Katakanlah hukum dan keadilan adalah cara/proses dan hasil yang sama dengan peribahasa SD rajin pangkal pandai, kita bisa menganalogikan seorang yang RAJIN namun tidak PANDAI2 juga tentu bukan karena dia salah melakukan keRAJINan itu tapi mungkin karena definisi “RAJIN” itu yang kurang benar, sehingga antara cara dan hasil tidak sinkron. Anak yang ingin pandai matematika tentu harus rajin belajar matematika bukan belajar sejarah atau bahasa. Apa yang terjadi dengan hukum dan keadilan di negeri ini kiranya memang bisa dianalogikan demikian, bagaimana sebuah ketentuan hukum tidak menghasilkan rasa keadilan di tengah2 masyarakat, bagaimana banyak sekali sikap hukum yang justru bertentangan dengan rasa keadilan kita.
Apakah karena pemerintah kita lebih mengutamakan hukum dibanding keadilan itu sendiri? Bisa jadi demikian adanya, kita sudah merasakan bagaimana hukum bertindak melenceng dari keadilan dari kasus2 Prita, Cicak Buaya, Anggodo sampai mbok Minah yang dituduh mencuri kakao. Aku jenuh melihat hukum digunakan untuk menjadi tameng diri sendiri, mereka politikus yang juga pakar hukum begitu getol melindungi diri sendiri demi atas nama hukum.
Jika memang kita benar berorientasi pada hukum seharusnya semua produk perundangan kita berjalan efektif di masyarakat, UU Hak Cipta, Sisdiknas, Porno, ITE dan lain sebagainya seharusnya sudah efektif berjalan di masyarakat selama ini, namun buktinya hampir nol, apakah masyarakat kita cenderung tidak taat pada hukum? tapi mengapa pejabat kita selalu bersikukuh berorientasi pada teks book tentang hukum dan menutup mata pada kondisi sosial yang ada.
Kita semua tahu hukum dibuat pemerintah yang berkuasa maupun DPR yang juga berkuasa, tentu kita tidak menutup mata bahwa ada penyaluran kepentingan penguasa pada setiap produk hukum yang disahkan dinegeri ini, yah hukum tidak akan terlepas dari subjektifitas kepentingan pembuatnya, lalu memaksakan hukum pada mereka yang berseberangan, berbeda dengan keadilan yang tidak satupun orang yang bisa memaksakan rasa keadilan kepada orang lain. Orang kaya bisa membeli hukum, penguasa mampu membeli hukum tapi kita semua tidak mampu membeli rasa keadilan
Terus terang aku merasa bangga pada sosok hakim yang memilih mengADILi mbok minah si pencuri kakao daripada mengHUKUMnya, aku bangga karena dia adalah salah satu contoh sosok ratu adil meski dalam ruang lingkup yang kurang begitu luas, yang selalu dikumandangkan sejak zaman Raja2 di nusantara. Sosok penegak hukum yang menjelma menjadi penegak keadilan dimana berani melakukan terobosan keadilan demi menghadirkan rasa keadilan di negeri ini. Inilah contoh produk keadilan yang kita semua impikan selama ini.
Mari kita selesaikan semua secara adil tidak harus secara hukum karena keadilan sosial adalah bagi seluruh warga Indonesia sedangkan hukum hanya berlaku bagi golongan tertentu.
Akhir kata aku berharap yang kita miliki adalah para aparat penegak keadilan, bukan penegak hukum, produk keadilan bukan produk hukum dan negara keadilan bukan negara hukum.