Dulu, beberapa tahun sejak aku tinggal di Jogja, ada satu hal yang aku perhatikan tidak ada di Jogja. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Jogja justru absen dari adanya pabrik-pabrik berskala nasional. Konon, dari cerita yang aku dengar sebagai seorang pendatang. Jogja memang tidak diijinkan untuk membangun pabrik skala besar, hanya pabrik kecil dan menengah saja yang ada di Jogja.
Pertimbangannya, masih dari yang aku dengar adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan, ya pendirian pabrik pasti berakibat pada limbah, kemudian, Jogja adalah kota pendidikan, seyogyanya dipisahkan dari kota industri, yang berikutnya, pendirian pusat industri ada kemungkinan memperlebar kesenjangan antara pemilik modal yang umumnya bukan orang Jogja dengan orang-orang Jogja asli. Setidaknya itulah yang aku dengar dan jadi pengetahuanku tentang mengapa Jogja selalu bikin rindu, tidak ada asap pabrik dan panas berlebihan seperti halnya kota besar lain.
Aku tidak terlalu memperhatikan, tapi dulu di Jogja hampir susah ditemukan bangunan yang tingginya lebih dari lima lantai. Kupikir itu karena memang posisi Jogja yang memang tepat berada di ujung barat bandara Adi Sucipto, mungkin klo terlalu tinggi takutnya kesampluk pesawat kali ya. Setidaknya saat gempa Jogja 2006 itu aku baru melihat ada bangunan lima lantai, dan sayangnya bangunan itu pun ambruk karena goyangan gempa.
Namun itu dulu, sebelum negara api menyerang. Jika dulu Jogja adalah kota yang ramah pada pendatang dan mahasiswa yang butuh kos pas-pasan, tidak dengan sekarang. Belasan kos-kosan eksklusif dan apartemen bertingkat mulai menjejali ruang-ruang kosong dekat kampus dan tempat kuliah di Jogja. Tentu saja biaya kos-kosan ini tidak terjangkau oleh mahasiswa golongan kere sepertiku dulu.
Ketidakbolehan Jogja jadi kota industri perburuhan besar nyatanya disiasati oleh investor dengan cara lain. Jogja adalah kota pendidikan cum kota wisata, maka disanalah mereka bergerak. Surga lifestyle dididirikan mulai dari Mall, cafe, coffe shop, hotel, kost eksklusif, wahana wisata, karaoke menjamur disana sini. Tentu saja, mustahil bagi kita mendapatkan kopi seenak Good Day Moccacino di coffee shop dengan harga tiga rebu perak. Setidaknya kita harus mengeluarkan duit 10 kali lipat dari harga secangkir mokacino di warung burjo.
Bahkan, roti bakar secuil kerap dihargai lebih dari seporsi roti bakar di pinggir jalan. Tapi kan beda rasane kak? Mbell, emang beda, enakan roti bakar pinggir jalan. Beda enaknya adalah kamu bisa abisin wifinya coffee shop sebapuknya meski modal beli kopi secangkir dan roti secuil.
Fasilitas Selangit, UMR Jogja Seuprit
Di antara meningkatnya kualitas fasilitas hedon di Jogja, ada hal yang jauh ketinggalan, meningkatnya fasilitas kenikmatan itu nyatanya tidak berbanding lurus dengan peningkatan upah minimum Jogja, UMP Jogja masih saja menjadi langganan juara pertama untuk urusan upah buruh. Yup juara pertama upah terendah di Indonesia. UMP Jogja 2020 ditetapkan sebesar 1,7 juta, dengan UMR Jogja kota sendiri sebesar dua juta sekian puluh ribu.
Kadang aku mikir, apakah anak muda Jogja bisa tetap bertahan dengan pergeseran pola dari makanan nikmat murah merakyat angkringan menjadi dikit-dikit dipotret ala kongkow di coffee shop namun tetap bisa menjaga kewarasan dompetnya?
Yang paling merana mungkin adalah anak-anak muda asli Jogja yang mungkin gak akan kepikiran bagaimana bisa ikut tetap keep up to date dengan gaya hidup kekinian di Jogja, menuntut serba lifestyle dan dinamis, tapi dengan upah seadanya. Jadi jangankan mikir rumah tipe 21 atau 36 di pelosok pedesaan di Jogja yang harganya udah hampir setengah miliar, klo UMR Jogja 2020 aja cuma segitu-gitu doang.
Dengan gaji 2 juta per bulan dan harga rumah 400 jutaan sama juga butuh 200 bulan atau tiga puluh tiga tahun anak muda Jogja harus bekerja, tanpa mengambil sepeserpun gajinya buat makan. Baru deh kebeli tu rumah. Itu buat beli rumah aja harus gak makan 33 tahun lho gaes? Belum uang beliin mahar si doi.
Jika dibandingkan para pendatang yang kelak juga akan balik ke lokasi asalnya dan masih punya harapan untuk bisa menyesuaikan diri dengan tingkat kemakmuran disana, entah seperti apa kelak orang asli Jogja yang sudah tidak punya tanah, tidak pula punya rumah. Mungkin kelak akan ada masa dimana pemilik kos adalah orang-orang luar Jogja, dan orang Jogja yang akan gantian jadi anak kost di kotanya sendiri.