Kembali Ke Pohon


Kadang main ke pekarangan cuma buat nyari gareng, ke sawah nyari jangkrik, belalang, kalo terpaksa nemu ular/tikus ya buru2 nyari gebuk.
Beberapa dari kita mungkin juga pernah memiliki benda2 pusaka mainan yang menangan klo diadu, layangan, kelereng, gasing, wayangan, dan bisa berharga mahal di kalangan temen2 seperjuangan.
Sifat dari semua permainan tersebut adalah permainan kolektif yang hanya bisa dimainkan dengan orang lain, ini berarti secara langsung melatih anak untuk bisa berkomunikasi dan besosialisasi dengan lingkungannya. Dari kacamata pendidikan permainan semacam ini lebih baik daripada sekedar main game, atau belajar dari menonton dan membaca saja, dalam permainan semacam ini aspek psikomotorik dan sosial anak berkembang lebih baik. Kalaupun ada efek buruknya mungkin karena anak jadi terbiasa bersentuhan dengan tanah gak heran ABG jaman dulu identik dengan penyakit kulit, gandongen, gudiken, boroken, tuma-nen, kulite ireng2. Toh itu bukan masalah karena begitu menginjak dewasa tetep aja laku di pasaran.
Segala sesuatu tentu memiliki dua sisi, teknologi dan modernitas mungkin memberikan akses lebih terhadap anak2 untuk mengenal dunia ini, tapi disisi lain juga penggunaan teknologi berlebihan juga menjadi hambatan bagi perkembangan psikomotorik anak. Karena itulah banyak guru sekarang yang justru menerapkan metode permainan rakyat di kelas untuk meningkatkan perkembangan psikomotorik anak yang kurang banyak berkembang dengan metode ceramah. Prinsip Back to Nature dan Kembali ke Pohon rasanya masih layak untuk dilaksanakan. Yang pasti aku setuju aja dengan yang Rinso bilang berani kotor itu baik.