Tawuran, cerita khas yang menghiasi blantika remaja dan anak muda di Indonesia. Sejak anak SMP – kuliah, bahkan bapak2nya terkadang ikutan tawuran level tarkam, coba saja ada event tawuran tingkat internasional, pasti bakal melibatkan negara adikuasa 😀
Bicara tawuran berarti harus bicara dari sudut pandang para pelaku, apa dan kenapa? bagi orang tua tawuran hanya dipicu hal hal yang sepele, tapi bagi anak2 remaja itu adalah hal hal penting dalam komunitas mereka, tawuran acapkali dipicu dari pelanggaran terhadap etika komunitas mereka oleh komunitas yang lain.
Masa masa remaja adalah masa masa pencarian pengakuan jatidiri manusia sebelum memasuki masa dewasa, dalam masa peralihan ini bentuk pengakuan jatidiri itu ada dalam bentuk pengakuan secara fisik, bullying terjadi karena anak2 remaja yang lebih senior ingin mendapatkan pengakuan dari para junior mereka jika mereka adalah “penguasa” sekolah.
Rebutan pacar, saling ejek, atau beradu pandang secara tidak semestinya dianggap meremehkan, bagi remaja hal itu sudah cukup untuk menjadikan pembenaran terjadinya tawuran. Ya, pengakuan!
Lalu jika mereka mencari pengakuan, kenapa tidak mencari pengakuan dari orang dewasa? seperti guru dan orang tua? nah disini seringkali terjadi missing link antara remaja dan orang tua, pengakuan terhadap anak lebih banyak diberikan jika anak berprestasi di dalam bidang akademik, sementara berapa kemungkinan seorang anak berprestasi di lingkungan sekolahnya?? Bagaimana pengakuan orang rumah pada bakat yang ditunjukan anak? Acap kali banyak orang tua yang menganggap keinginan anak mengembangkan bakat adalah sesuatu yang salah dan sia-sia sehingga mereka sering melarang anak2 melakukan kegiatan yang mereka sukai.
Atribut berprestasi seringkali hanya dimiliki segelintir anak2 cerdas dan berpredikat elit di mata para guru, sementara sisanya hanya berperan sebagai genep genep kelas. Anak2 kemudian mencari sendiri prestasinya di luar lingkungan sekolah.
Gaul, keren, modis, alay, solider, bbm, anak band, punk dan sederet istilah lain sering digunakan anak2 remaja untuk mendapatkan pengakuan dari komunitasnya, pengakuan tersebut akan menjadi prestasi yang membantu mereka percaya diri dalam lingkungannya.
Setiap manusia terlahir unik, yang memiliki kekurangan dan kelebihan masing2, namun dunia pendidikan baru mampu memberikan dukungan pada kemampuan akademik yang berbasis explicit knowledge, sehingga anak2 yang berotak cerdas lah yang mendapat prioritas untuk dibina, sementara bagi mereka yang memiliki skill lain seperti olahraga dan seni  hanya untung2an saja jika di sekolah mereka ada kegiatan yang bisa membantu mereka mengasah kemampuan mereka.
Selama mengajar di sekolah, saya mengamati ada dua tipe kecerdasan anak, anak yang cerdas otaknya dan anak yang cerdas skillnya. Anak yang cerdas otaknya adalah mereka yang berpredikat berprestasi, kemampuan akademik mereka bagus, mudah menyerap pelajaran, tapi seringkali mereka akan kesulitan menghadapi permasalahan yang membutuhkan technical skill. Anak2 yang cerdas skillnya secara akademik mereka rata2 air, tetapi kemampuan troubleshooting mereka dapat diandalkan, mereka lemah dalam teori tapi hebat dalam aplikasi, mereka tahu caranya jungkir balik di lapangan yang aman tanpa menghiraukan rumus2 dan teori2 tentang inersia, momentum, sentripetal-sentrifugal.
Tawuran bagi mereka adalah sebuah pertunjukan skill mereka yang enggak didapatkan di sekolah, kemampuan melempar batu, menghindar, melarikan diri dari kejaran.
Ketika orang tua disuruh menghadap ke kantor polisi atau sekolah karena anak mereka kedapatan tawuran, hampir pasti orang tau akan ikut melampiaskan kemarahannya pada anak tersebut, mengatai2 anaknya sendiri dengan bahasa yang kasar, baik di hadapan orang lain atau ketika di rumah. Ya, bagi orang tua peristiwa itu memang memalukan, tapi dimarahi orang tuanya di kantor polisi jelas peristiwa yang jauh lebih memalukan bagi si anak, karena itu artinya dia tidak lagi merasa mendapat perlindungan baik dari pihak sekolah, maupun keluarganya sendiri, ini justru semakin meningkatkan keinginan mencari pengakuan terhadap eksistensi mereka dalam lingkungan luar.
Lalu gimana cara mencegah dan menanggulangi tawuran???
- Berikan ruang pada mereka untuk berekspresi sesuai bakatnya, minatnya, dalam bentuk ekstrakurikuler sekolah, agenda2 rutin semacam class meeting dan perlombaan2 intra dan inter sekolah.
- Melibatkan mereka dalam organisasi pelajar, event promosi sekolah, kepanitiaan MOS, pensi. Dengan demikian mereka akan belajar kedisipinan, memimpin, mengorganisasi dan bertanggung jawab.
- Bantu membangun mental mereka, jago tawuran biasanya akan lari terbirit2 jika dia seorang diri, tapi kita disini bukan membangun mental seorang petawur, melainkan petarung di podium, lapangan upacara, di depan kelas, ya ciri khas orang Indonesia berani karena banyak, klo disuruh maju ke depan mengerjakan soal langsung mentalnya jatuh. Membangun seorang yang berani mengatakan salah jika salah
- Pendekatan secara personal, mendengarkan dan memahami persoalan mereka, terkadang perlu kita berikan nasihat tentu saja bukan dengan cara menghakimi tapi memberikan gambaran, analogi, Mengajak mereka berfikir mana yang boleh mana yang tidak.
- Ketika mereka berbuat salah, yang terbaik bukan dengan menghakimi tapi mengajak mereka menelaah kembali kesalahan mereka dengan sudut pandang yang netral, dengan sendirinya mereka akan menemukan batas mana sikap yang baik dan mana yang buruk untuk mereka jadikan pegangan.
- Menanamkan sikap2 yang menginspirasi mereka, memberi semangat mereka tentang kisah2 sukses orang besar, menyadarkan mereka jika sukses bukan hanya milik si ranking satu, Einstein si bodoh pun menjadi ilmuwan terbesar di dunia.
- Berikan pujian, penghargaan dan pengakuan atas prestasi yang mereka capai, tidak telat selama seminggu, tidak tertidur di kelas selama 8 jam pelajaran, terlibat aktif dalam diskusi kelas, itu adalah penghargaan kecil yang memilik arti besar buat mereka, tidak gampang untuk mengubah kebiasaan tepat waktu jika sudah terbiasa telat, tidak mudah memberanikan diri untuk bertanya dengan efek samping tampak bodoh dan menjadi pusat perhatian teman2nya.
- Melampiaskan kemarahan pada anak yang terlibat tawuran bukanlah hal yang akan memberikan pengertian pada anak tentang kesalahannya, kondisi itu hanya akan mengulang aktifitas kekerasan dan bullying dalam pikirannya, bahwa setiap kesalahan pantas diganjar dengan kekerasan juga.
Dengan demikian, kita membantu menciptakan kenyamanan pada remaja untuk berada di sekolah, mengasah kemampuan non akademis mereka, dan mendapat apresiasi atas apa yang mereka perbuat, sehingga mereka tidak merasa perlu lagi untuk mencari pengakuan di luar pagar sekolah. Dan pengakuan dari keluarga mereka di rumah.
gambar dari sini dan sini
Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan Indonesia Bersatu:Cara Mencegah Dan Menanggulangi Tawuran
Hari sumpah pemuda telah berlalu, komentarku untuk artikel di atas mengenai peristiwa tawuran yg melibatkan pemuda-pemudi berstatus pelajar pun kunjung datang,,
Saya berharap hari peringatan sumpah pemuda ini dapat mengetuk para hati pemuda-pemudi di Indonesia (apapun statusnya)..
amin semoga pemuda2 kita semakin baik dan bsa bersaing dengan bangsa lain
Menghadapi anak-anak remaja gampang-gampang sulit. Terlalu keras, mereka berontak, terlalu lunak, malah ngelunjak.. Jadi, yang sedang-sedang saja ya Mas Priyo.. 🙂
Ide yang menarik sekali..
makasih mas sarannya, agak susah2 gampang untuk menemukan mana yang enggak terlalu keras dan enggak terlalu lunak untuk anak2 mas, tergantung ke tiap personalnya
dunia pendidikan saat ini memang makin rumit dan kompleks, mas. butuh sinergi antara orang tua, sekolah, dan masyarakat agar proses deteksi dini terhadap bibit2 kekerasan yang melanda kaum remaja-pelajar kita bisa dilakukan scr komprehensif.
iya mas sawali, tanggung jawabnya ada di pundak kita bersama 🙂