Well, sebagai manusia kita dituntut berfikir cepat, cerdas dan cermat, memang permainan tersebut tidak lebih dari sekeedar permainan biasa, pun demikian disana ada media pembelajaran dan pelatihan otak bagi para pemainnya. Dibutuhkan refleks, pemikiran dan gerak tubuh(dalam kasus ini gerak bibir untuk mengucapkan) secara kontinyu dan cepat. Tentu bukan perkara mudah untuk kita menebak 20 kali warna2 tersebut dengan cepat, faktor adaptasi terhadap permainan berlaku disini. Membuat permainan ini pun cukup mudah hanya memerlukan kertas warna/warni atau cukup printer warna kita sudah bisa memainkannya bersama anak2 dan keponakan.
Beda kasus dengan jenis2 permainan di era digital, hampir semua dirancang by design for end user only, dimana user akhir dalam hal ini anak2 lebih cenderung diarahkan untuk menerima mainan yang ada bukan untuk merangsang perkembangan otak anak. Mobil2an, boneka, monopoli, hampir tidak memberikan alternatif untuk anak belajar mendongkrak batasan pemikiran. Yang diperlukan dalam permainan ini adalah anak mengikuti rule yang diberikan. Jarang ada anak yang berfikir untuk membongkar mobil2annya dan menjadikan dinamonya menjadi sebuah kipas angin mini. Memang permainan ini masih agak mendingan karena masih bisa melibatkan komunitas si anak, sehingga anak meski perkembangan kreatifitasnya kurang optimal minimal mereka diajari berinteraksi dengan orang lain.
Lebih parah lagi adalah kemunculan game2 console mulai era Game Boy, DingDong, SEGA, Nintendo, PS, XBOX, Wii, ponsel, PC dst. semakin membuat kretifitas mereka terkungkung. Kerugian dari penggunaan game2 ini jelas membuat anak lebih individualis karena hanya dengan sebuah console si anak sudah bisa menemukan kesenangannya sendiri tanpa melibatkan lingkungan sekitar. Sisi lainnya jelas membuka lebar2 sikap egois dan mengurangi kemampuan anak belajar berempati terhadap sesamanya. Apa salahnya permainan digital??
Jika kita meninjau dari segi keamanan si anak, tentu permainan digital memberikan jaminan keselamatan lebih tinggi pada si anak, hampir tidak dijumpai kemungkinan cedera, lecet, atau bahkan kotor sekalipun pada si anak. tetapi kelemahan terbesar adalah karena sistem ini terlalu sempurna sebagai teman satu2nya si anak, membuat si anak merasa tidak lagi perlu bergaul dengan lingkungan, hal ini bisa menjadi masalah dikemudian hari ketika anak merasa canggung di lingkungan baru, sekolah baru, teman2 baru, faktor mentalitas anak2 yang sudah kecanduan game semacam ini juga perlu diperhatikan.
Untuk menghadapi sebuah mesin console anda tidak perlu menyiapkan mental sedikitpun, kesalahan sebesar apapun dalam permainan bisa di undo, cancel, atau dihapus dari memory, anda tidak perlu malu berbuat salah dan curang, anda tidak perlu menghadapi kemarahan mesin console karena anda memainkannya berpuluh2 jam, tetapi beda dengan permainan tradisional, hampir semua permainan tradisional memiliki aspek2 yang jauh lebih komplit dibanding permainan console, adanya peraturan dan sanksi dalam permainan yang punya konsekuensi nyata dan bersifat fair karena melibatkan lebih dari satu orang, ini mengajarkan pada mereka untuk bersikap adil dan menyatakan pendapat jika merasa dirugikan, ada faktor kebersamaan, kerjasama tim, kreatifitas, meransang pola berfikir anak.
Saya ingat sama seorang berkewarganegaraan Belgia yang bernama Rudy Correns, yang mendirikan Museum Anak Kolong Tangga di Yogyakarta, cukup lama juga Pak Rudy berburu ratusan jenis mainan tradisional dari berbagai daerah di Indonesia sebelum Pak Rudy memutuskan untuk membangun museum khusus mainan ini, apa isinya??tentu saja aneka koleksi mainan anak tradisional dari berbagai negara, tetapi mayoritas adalah mainan anak dari Indonesia, mengapa demikian karena menurut Pak Rudy mainan tradisional di Indonesia sangat banyak jumlahnya dan beraneka ragam, bisa dimainkan segala umur dan memiliki nilai edukasi yang baik. Beliau juga orang yang sangat concern dalam trauma healing pasca gempa Jogja untuk anak2, kebetulan waktu itu yayasan beliau bekerja sama dengan team relawan kami dalam menyelenggarakan peringatan hari anak nasional pasca gempa Jogja di daerah Bantul.
Yah, klo orang bule saja sudah segitu getolnya ingin menyelamatkan mainan tradisional yang edukatif bagi masyarakat, sampai sejauh mana kita berusaha menyelamatkan salah satu jenis budaya bangsa kita ini???