Menua bersama senja
Berlalu tanpa desah kehadiranmu
Terpancar atas nama cinta
Berbisik bersama hembusan angin dari masa lalu
Secangkir kopi dari Playa, begitu yang aku baca dari beberapa tulisan di internet beberapa bulan lalu. Ya meski aku lumayan lupa dan akhirnya baru minggu kemaren menemukan kembali tulisan2 senada, yaitu pertunjukkan puppetshow yang mengisahkan sebuah kisah cinta dari masa lalu yang begitu tulus dan mengharukan. Kisah terpisahnya sepasang kekasih sekian lama, hanya saja tidak berending baik seperti kisah Cinta dan Rangga yang dipertemukan kembali di film AADC 2
Widodo Suwardjo, begitulah pemuda kelahiran 2 September 1940 ini disapa, setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Teknik UGM, di tahun 1959 ia mendapat kehormatan untuk melanjutkan studinya jauh ke negeri beruang merah.
Sebelum berangkat ia bertunangan dengan putri sulung seorang direktur perusahaan negara, mereka berencana menikah selepas ia menyelesaikan tugas belajarnya. Tahun berganti, surat-surat cinta diantara mereka pada akhirnya harus terputus oleh pemberontakan komunis di Indonesia.
Pemberontakan yang menjadi awal pergantian rezim di Indonesia dan stigmatisasi anti komunis yang sangat kuat. Tidak ada lagi surat cinta pengantar tidur yang romantis, semua telah terputus, tertutup oleh fatwa ideologi penguasa baru. Widodo dan ratusan anak negeri yang belajar di negeri komunis terpaksa harus terdiaspora, tidak lagi diakui oleh negeri sendiri, tanpa bisa menghubungi sanak keluarga mereka.
Hilang seperti buih ditelan lautan
Menyisakan kerinduan dalam kenangan
Ia pun pada akhirnya terdampar di Playa, sebuah distrik di Havana Kuba, menyisakan asa untuk bisa pulang ke negeri dan kekasih yang dicintainya, sekian puluh tahun terdiaspora dan ia memilih tetap setia pada kekasihnya…
Apa kabar kekasihnya??? tidak ada pilihan lain baginya selain menerima pinangan lelaki lain menggantikan posisi Wi yang tidak terdengar lagi kabarnya.
Yah Wi akhirnya pulang setelah orde baru tumbang oleh gelombang mahasiswa, ia mencari tahu keberadaan kekasihnya yang kini telah memiliki empat orang cucu.
Tidak ada kata yang cukup tepat untuk menggambarkan ketulusan cinta seorang Wi pada kekasihnya, tidak ada yang cukup mampu menyelami perasaannya saat ini.
Sebuah cinta harus dikorbankan hanya karena pertarungan kekuasaan, atas nama politik dan ideologi. Mungkinkah akan muncul widodo-widodo lain di negeri ini, yang menanggung derita terdiaspora karena kelaliman penguasa?? Aku berharap tidak, cukup satu Widodo dari Playa yang mengalaminya dan dari kisahnya kita bisa belajar banyak, bahwa egoisme ideologi dan politik, tidak selayaknya membuat anak bangsa terdiaspora, kehilangan cinta dan keluarga, semoga.
Widodo Suwardjo saat ini berusia 72 tahun dan hidup membujang di Playa, Havana, Kuba