Makanan Ramah Iklim ala Omar Niode Foundation, Seperti Apa dan Bagaimana?
Istilah ini cukup menarik buatku, bagaimana makanan memiliki indikator ramah iklim?
Makanan Ramah Iklim, Seperti Apa dan Bagaimana?
Menurut Guardian, sistem pangan manusia memiliki efek 21-37% terhadap efek rumah kaca, yang berarti bertanggung jawab terhadap perubahan iklim di bumi, tanah pertanian di seluruh dunia sendiri menyumbangkan 15% efek rumah kaca. Menurut Amanda Katili dari Climate Reality Indonesia, ada beberapa penyab
Pertama adalah sistem pangan manusia memerlukan banyak resource mulai dari hulu hingga hilir, sejak ditanam, dipupuk, diberi vitamin, dipanen, dikemas, didistribusikan, diolah hingga dikonsumsi oleh manusia.
Kebutuhan lahan pangan menjadi salah satu dari alasan deforestisasi yang dilakukan diberbagai penjuru dunia, alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan lahan pertanian demi kebutuhan pangan menjadi alasan keduanya.
Alasan berikutnya adalah food waste, yaitu kebiasaan membuang makanan yang tidak termakan. Ini merupakan sebuah paradoks, di mana negara-negara Afrika memiliki tingkat kelaparan tinggi, sementara di negara2 lain banyak makanan yang terbuang percuma.
Chef William Wongso dalam webinar ini menyebutkan seorang manusia dewasa, memiliki kebutuhan makan kurang lebih 500 gram perhari, lebih dari itu biasanya makanan tersebut tidak termakan, di Indonesia, jarang sekali ada penjual makanan yang mengetahui berapa gram sih satu porsi nasi goreng yang disajikannya.
Dalam hal makanan terbuang ini, menurut FAO dan UN Environmental Programme, ada dua jenis ukuran yang digunakan, yaitu Food Loss Index dan Food Waste Index. Food lost index, adalah sebutan untuk hilangnya potensi makanan sebelum dapat dipasarkan, sedangkan food waste index, mengukur jumlah makanan yang sudah sampai pada konsumen namun tidak termakan dan berakhir sia-sia.
Food loss index ini paling banyak terjadi di negara-negara Asia, dimana teknologi pertanian dan peternakan, kurang efisien dalam mencegah kehilangan hasil pangan sebelum sampai pada konsumen. Kurangnya teknologi yang dapat mencegah hama, banjir, sistem penyimpanan makanan dan lain sebagainya. Sementara itu tidak sedikit dari kita membeli makanan namun tidak bisa menghabiskannya dan berakhir sebagai limbah pangan
Menurut Amanda Katili, untuk menghasilkan makanan yang terbuang tersebut, manusia memerlukan biaya dan waktu yang tidak sedikit untuk menanam maupun membesarkan ternak, membutuhkan jasa logistik berbahan bakar fosil, maupun memproduksi gas rumah kaca dalam industri pengolahan makanan.
Jangan lupa, gas tersebut tidak hanya ada di Industri pengolahan, gas metana ini memiliki koefisien daya tangkap panas 25x lebih tinggi dibanding karbondioksida ini, setengahnya diproduksi di lahan pertanian dan 60% berasal dari ternak ruminansia. Jadi wajar jika laporan Guardian di atas menyebutkan sistem pangan kita memiliki kontribusi yang cukup besar hingga 30% dari penyebab efek rumah kaca.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa makanan ramah iklim adalah makanan yang sejak hulu hingga ke hilir mampu mengurangi efek rumah kaca, melalui pemilihan bibit, pemrosesan, limbah, hingga hasil akhirnya digunakan secara efektif dan efisien.
Menurut Terzi Niode dari Omar Niode Foundation, adanya pandemi Covid merupakan salah satu dampak dari bagaimana penyakit yang seharusnya ada di alam, berpindah pada manusia akibat hilangnya keanekaragaman hayati akibat ulah manusia itu sendiri. Hilangnya habitat hewan dan tanaman akibat pembalakan hutan, pembuatan perkebunan pangan, juga turut andil dalam meningkatkan efek rumah kaca.
Untuk membantu melawan perubahan iklim, Terzi menyarankan agar mulai mengurangi konsumsi daging dan beralih kepada makanan berbasis nabati, tidak harus menjadi seorang vegan atau vegetarian, minimal mulai dengan lebih banyak mengkonsumsi pangan lokal dan berasal dari alam.
Kekayaan Budaya Indonesia, 30 Ribu Jenis Kuliner Nusantara
Menurut Nicky Ria dari Sobat Budaya Indonesia, Indonesia memiliki sangat banyak jenis makanan, kekayaan bangsa ini mencakup 70ribu budaya di seluruh nusantara dan 30ribu jenis kuliner nusantara yang ada di Indonesia, hasil penelitian Nicky dan rekan-rekannya ini bisa diakses di budaya-indonesia.org. Menurut William Wongso, jika satu orang makan satu jenis makanan yang ada di Indonesia setiap harinya butuh 80 tahun untuk mencoba beraneka ragam kuliner yang ada di nusantara ini.
Omar Niode Foundation, berinisiatif guna mengenalkan pangan lokal yang ramah iklim ini lewat peluncuran buku Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo karya Amanda Katili Niode dan Zahra Khan, fokus buku tersebut adalah membahas kuliner yang ramah iklim dari wilayah Gorontalo. Kita tahu sendiri Gorontalo merupakan sebuah provinsi yang terletak di Pulau Sulawesi bagian utara.
Buku yang bisa diakses secara gratis dalam bentuk ebook Memilih Makanan Ramah Iklim +39 Resep Gorontalo ini, menampilkan 39 jenis kuliner lokal Gorontalo. Buatku yang tinggal di Pulau Jawa, buku ini membuka wawasan baru mengenai apa saja sih makanan khas dari daerah Gorontalo.
Zahra Khan, seorang Ahli Teknologi Pangan yang berdomisili di Gorontalo, menyebutkan kebanyakan makanan di Gorontalo menggunakan bahan dasar ikan, karena banyaknya ikan yang bisa dijumpai di Teluk Tomini maupun perairan Gorontalo. Beberapa makanan khas Gorontalo antara lain Bilentangho, Gohu Putungo (jantung pisang), Ilepa’o dan masih banyak lagi.
Menurut wanita yang menyelesaikan pendidikan Teknologi Perikanan Brawijaya dan Ilmu Pangan IPB, jenis sayuran yang ada di Gorontalo, lebih sedikit dibanding di Pulau Jawa. Hal itu tentu membuat perbedaan mengapa sebuah kuliner di suatu daerah bisa berbeda dengan daerah lain, meskipun beberapa bumbunya mungkin sama, tetapi terkadang ada saja bahan atau bumbu yang memang unik ada di daerah tersebut, misal menu Ilepa’o yang dibuat menggunakan Ikan Nike yang hidup di perairan Gorontalo. Ikan Nike ini adalah ikan yang biasanya muncul setiap awal bulan dan menandai kedatangan Hiu Paus di perairan Gorontalo, masyarakat Gorontalo memasak Ilepa’o pada saat kemunculan ikan Nike ini
Makanan sendiri merupakan bagian dari sebuah budaya, cara masak, cara menanam, bumbu lokal yang mungkin hanya ada disana membuat citarasa yang khas bagi siapapun yang menikmatinya. Hal ini pula yang membawa Ihsan Averroes Wumu, membuka restoran makanan khas Gorontalo di wilayah Tebet, baginya memperkenalkan makanan khas daerahnya merupakan cara untuk memelihara budaya lokal sekaligus mengenalkannya kepada masyarakat Indonesia lainnya mengenai kekayaan budaya daerahnya.
Bagaimana Melestarikan Budaya dan Mengkampanyekan Makanan Ramah Iklim
Menurut Amanda Katili, berdasar penelitian tentang pedoman gizi seimbang yang dikeluarkan di 85 negara di seluruh dunia, Indonesia sebenarnya memiliki pedoman gizi seimbang yang sangat baik. Prinsip gizi seimbang di Indonesia yang dulu dikenal dengan istilah 4 sehat lima sempurna merupakan satu dari dua pedoman gizi seimbang di seluruh dunia selain Sierra Leone yang memenuhi kebutuhan sehat untuk fisik, dan sehat untuk lingkungan. Dengan demikian, Indonesia sebenarnya punya modal besar guna meneruskan kampanye makanan sehat yang ramah iklim ini.
Makanan lokal dan tradisional, memiliki kaitan erat dengan makanan ramah iklim, makanan lokal, bersumber dari produk lokal yang ditanam petani setempat. Sumber pangan yang dekat mengurangi kebutuhan akan transportasi logistik akibat jarak yang jauh, serta penggunaan mesin pendingin untuk mencegah makanan agar tidak mudah busuk. Dengan mengkonsumsi pangan lokal, kita turut berkontribusi dalam meningkatkan ekonomi masyarakat sekaligus mengurangi terjadinya limbah pangan yang mungkin terjadi di wilayah kita sendiri.
Tidak jarang lho beberapa makanan di Indonesia diciptakan dari limbah pangan, misalnya di Kulon Progo, terdapat pengolahan kulit durian menjadi kerupuk. Kulit durian yang biasanya dibuang begitu saja, ternyata masih memiliki nilai ekonomis dan bisa dikonsumsi setelah diolah menjadi kerupuk.
Selain itu, makanan tradisional di Indonesia, banyak yang masih menggunakan bahan alam sebagai pembungkusnya, misalnya, daun pisang untuk bungkus tempe, lemper, arem-arem, besek bambu untuk geplak, daun jagung untuk dodol, daun kelapa untuk clorot, bambu untuk gethuk dan lain sebagainya.
Namun, sedikit demi sedikit, bungkus ini banyak berpindah menggunakan bahan dasar plastik, misalnya tempe. Padahal kita tahu sendiri, bahwa plastik merupakan produk yang tidak bisa diuraikan oleh tanah, dengan kembali menggemakan penggunaan bungkus makanan tradisional, kita bisa membantu menjaga kesuburan tanah kita.
Penggunaan tas ramah lingkungan saat berbelanja juga patut kita dukung, agar sebisa mungkin mengurangi penggunaan plastik dalam kegiatan ekonomi sehari-hari. Dan yang terakhir, tentu saja, jangan membuang-buang makanan, makanlah makanan yang sesuai dengan kebutuhan keluarga kita, tidak berlebihan.
Tentang Omar Niode Foundation
Omar Niode Foundation adalah sebuah organisasi nirlaba yang turut berperan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia, citra budaya, dan kuliner Nusantara, terutama di Gorontalo, di Indonesia dan mancanegara.
Omar Niode Foundation telah menerbitkan 15 buku, di antaranya Trailing the Taste of Gorontalo yang meraih Gourmand World Cookbook Award, Best of the Best 1995-2020 kategori Food Heritage dan menjadi kontributor Bab Indonesia pada buku At the Table. Food and Family around the World, yang juga memperoleh Gourmand Award.
Dalam melaksanakan berbagai kegiatannya, Omar Niode Foundation bekerja sama dengan individu maupun organisasi di dalam dan di luar negeri. Omar Niode Foundation aktif dalam organisasi food bloggers nasional maupun internasional, juga di Future Food Institute, Indonesia Bergizi, Jamie Oliver Food Revolution Day, Slow Food International, dan World Food Travel Association.
Referensi:
- https://www.theguardian.com/commentisfree/2019/oct/08/climate-change-food-global-heating-livestock
- https://www.ifco.com/countries-with-the-least-and-most-food-waste/
- https://yogya.inews.id/berita/omah-duren-kulonprogo-sulap-kulit-durian-jadi-keripik/all