Menyimak berita corona di Indonesia hingga hari ini tanggal 5 April 2020, virus bernama resmi COVID 19 ini telah menjangkiti 2.273 penderita positif, 198 orang diantaranya meninggal dunia sedangkan 164 penderita dinyatakan sembuh. Selain itu di tingkat global, pandemi ini telah menginfeksi 1,2 juta orang di seluruh dunia.
Enampuluh empat ribu lebih orang meninggal dunia akibat virus yang mulai terdeteksi sejak Desember 2019 ini. Sampai hari ini, virus Corona berkembang dengan pesat di berbagai belahan dunia. Amerika Serikat, bahkan saat ini memegang rekor sebagai negara tertinggi yang terkena corona. Berikut ini adalah daftar kasus positif corona di 10 negara tertinggi pandemi
10 Negara Dengan Casus Covid Terbanyak per 5 April 2020
- Amerika Serikat, 312.237 kasus (8.503 meninggal, 15.021 sembuh)
- Spanyol 126.168 kasus (11.947 meninggal, 34.219 sembuh)
- Italia 124.632 kasus (15.362 meninggal, 20.996 sembuh)
- Jerman 96.092 kasus (1.444 meninggal, 26.400 sembuh)
- Perancis 90.853 kasus (7.574 meninggal, 15.574 sembuh)
- China 82.574 kasus (3.333 meninggal, 77.187 sembuh)
- Iran 55.743 kasus (3.452 meninggal, 19.736 sembuh)
- Inggris 42.479 kasus (4.320 meninggal, 215 sembuh)
- Turki 23.934 kasus (501 meninggal, 786 sembuh)
- Swiss 20.505 kasus (666 meninggal, 6.415 sembuh)
Di Indonesia sendiri, meski jumlah pasien terkonfirmasi positif corona sebanyak dua ribuan orang, tetapi fatality rate di Indonesia termasuk yang paling tinggi, yakni 8,71%, data dari IDI menyebutkan 17 dokter dan 5 dokter gigi meninggal karena corona, 3 diantaranya adalah profesor dari UGM dan UI.
Mewaspadai Wabah Corona
Jika kita melihat bagaimana Italia sempat menjadi negeri dengan tingkat penularan Covid19 dan masih memegang rekor jumlah kematian tertinggi akibat virus corona ini, setidaknya ada hal yang perlu kita ingat baik-baik.
Saat itu ketika situasi di wilayah utara Italia sudah darurat, pemerintah Italia merencakana hendak melakukan lockdown pada empat provinsi yang terkena dampak Covid19, namun, satu malam sebelum pengumuman lockdown disampaikan Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, informasi tersebut bocor ke publik. Hal ini menyebabkan kepanikan warga di wilayah provinsi-provinsi utara, dan mereka memutuskan segera keluar dari zona merah tepat sebelum pemerintah menutup wilayah mereka. Dan hasilnya adalah, orang-orang utara menularkan virus tersebut pada lebih banyak masyarakat Italia.
Italia, sebagai negeri sepakbola, rumah mode, pabrikan otomotif, serta negeri dengan tingkat layanan kesehatan yang baik saja bisa sampai seterpuruk itu menghadapi virus corona, lalu bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintah Indonesia, dianggap terlalu percaya diri menghadapi virus corona, alih-alih menyiapkan mitigasi dan persiapan menghadapi wabah, pemerintah justru menggelontorkan diskon besar untuk pariwisata, blunder memang. Bahkan pemerintah lewat Menlu sempat memprotes keras kebijakan Saudi Arabia yang menolak visa dari negara-negara terdampak corona, salah satunya Indonesia, namun selang berapa hari berikutnya Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus pertama di Indonesia.
Pun demikian, tidak ada yang bisa kita lakukan sebagai warga alih-alih menyalahkan pemerintah, pada saat ini sebenarnya yang paling penting adalah bagaimana warga masyarakat bisa saling melindungi diri sendiri dan keluarganya dari ancaman penularan virus yang sulit dideteksi ini.
Banyaknya aktifitas publik di Jakarta, penggunaan moda transportasi publik konon menjadi sumber penyebab banyaknya kasus Corona di Indonesia, ada 1.124 pasien yang berada di DKI Jakarta, ini berarti lima puluh persen kasus yang terjadi di Indonesia berada di Jakarta. Hal ini memicu tokoh masyarakat dan bahkan gubernur DKI mencanangkan lockdown, namun sayang hal ini dianulir oleh pemerintah pusat dengan menyatakan kebijakan lockdown berada di tingkat pusat.
Pembatasan moda transportasi publik di Jakarta pun tak berjalan mulus, masih banyaknya perusahaan yang buka membuat penumpukan penumpang menjadi lebih banyak, dan memicu penyebaran yang lebih masif, untungnya sekarang semakin banyak perusahaan dan perkantoran yang mulai menerapkan work from home sejak dua minggu terakhir.
Lockdown ala Kampung-kampung Sleman
Di wilayahku di Sleman, hampir di setiap kampung jalan-jalan masuk kampung di barikade, atau setidaknya mereka mendirikan pos keamanan di mulut kampung. Dari poster dan coretan yang mereka buat mengindikasikan mereka sedang melakukan lockdown terhadap kampung mereka guna mencegah penularan virus corona lebih lanjut.
Dari rumahku ke kantor yang jaraknya kurang lebih 12 kilometer, hampir tidak ada kampung yang tidak memasang portal dan poster lockdown. Bisa dikatakan 90% kampung di Sleman memasang lockdown, suasana ini nampak kontras saat berada di perbatasan Sedayu, Bantul, di wilayah Sleman setiap kampung dipasang palang, sedangkan di Sedayu tidak ada penutupan akses jalan masuk kampung.
Meski sebenernya lockdown di kampung-kampung Sleman bukanlah hal yang sebenarnya, lockdown adalah penghentian aktifitas secara keseluruhan, semua orang diwajibkan berada di dalam rumah. Pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat otomatis menjadi tanggung jawab pemerintah.
Sedangkan di Sleman, yang terjadi sebenarnya adalah aktifitas mengurangi kegiatan masyarakat di luar rumah serta meminimalisir kedatangan tamu ke rumah warga yang ditakutkan akan menyebarkan virus corona ke wilayah kampung mereka.
Libur berLebaran? Berani?
Konon puncak pandemi corona di Indonesia adalah pertengahan april ini, namun banyak juga teori berkembang yang berbeda, terutama jika mengingat akhir bulan ini sudah memasuki bulan puasa ramadhan, dimana di bulan ini aktifitas sosial masyarakat cukup intens terutama untuk kegiatan keagamaan seperti sholat tarawih.
Mengingat pemerintah tidak melarang mudik, maka kemungkinan besar puncak pandemi corona bakal terjadi di sekitar akhir mei hingga awal juni, saat orang-orang mulai mudik ke kampung halaman masing-masing. Meski organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU telah menyarankan agar masyarakat tidak melakukan sholat jumat, sholat tarawih, mudik, dan menyelenggarakan sholat ied berjamaah dan libur berlebaran, pun aku sendiri tak terlalu yakin masyarakat kita cukup dewasa untuk mengikuti anjurannya.
Masyarakat kita sangat terbiasa dengan yang namanya tradisi, kebiasaan, apalagi rutinitas tahunan seperti mudik lebaran ini rasanya agak sulit untuk dibendung, keinginan satu tahun sekali berkumpul dengan keluarga bakal menjadi motivasi yang susah untuk dikekang.
Lha wong sekedar yang pembatasan sholat jumat aja sudah bisa jadi bahan berantem di sosial media. Banyak orang yang merasa sebaiknya tidak perlu takut corona cukup takut Tuhan, jadi gak masalah ke masjid. Masalahnya itu berarti juga gak masalah memperbesar peluang menularkan virus corona kepada orang-orang di sekitar kita.
Belum masalah anak-anak muda yang doyan ngabuburit, kegemaran kita mencari diskon baju baru buat lebaran di mall dan pusat perbelanjaan serta keharusan menyajikan makanan nget-ngetan di hari lebaran yang mengharuskan kita berdesak-desakan di kios penjual daging di pasar tradisional. Ancaman itu, masih akan nyata hingga masa lebaran usai.
Dengan rencana pembatasan kapasitas moda transportasi publik untuk mudik sendiri, seperti pembatalan kereta api dari Jakarta, grounding pesawat-pesawat terbang, kemungkinan bakal ada masalah tambahan, dimana masyarakat menggunakan lebih banyak kendaraan pribadi untuk menuju kampung halaman untuk menikmati libur lebaran. Masalahnya adalah, dengan merebaknya virus corona ini beranikah kita libur berlebaran? satu kali ini saja
Untuk info mengenai update virus corona bisa akses ke link https://www.cekaja.com/info/covid-19-updates/