Pernah mendengar kata gender? Seringggggg. Kata ini memang sering digunakan baik di media massa maupun online. Ketika kita mendengar kata gender, maka yang terlintas adalah semua hal berkaitan dengan perempuan. Jadi kalau ngomongin gender berarti ngomongin perempuan. Gitu kan ya?
Kurang lebih itulah miskonsepsi yang beredar di tengah masyarakat kita. Bahwa gender = perempuan. Lha bener kan? kesetaraan gender berarti lebih banyak ngasih porsi ke perempuan biar setara dengan laki-laki? Yap bener, tapi sebenernya klo kita ngomongin gender ya gak gitu-gitu juga sih ya. So Senin minggu kemarin aku datang memenuhi undangan dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia untuk mengikuti Pelatihan Jurnalisme Sensitif Gender di Grand Keisha Yogyakarta.
Dari pelatihan tersebut, aku mendapat ilmu dasar yang baru dari sosialisasi gender ini. Gender itu bukan perempuan, bukan wanita. Manusia terbagi menjadi dua yakni laki-laki dan perempuan. Pembedaan jenis kelamin ini adalah kodrat yang tidak bisa diganggu gugat. Biarpun jaman now banyak transgender dari cowo ke cewe atau sebaliknya tapi tetap saja yang berubah mungkin hanya bentuk fisiknya tapi secara reproduksi ya tetep lakik juga, gak bisa mengeluarkan air susu maupun mengandung anak.
Gender sendiri adalah pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Disini kata kuncinya adalah pembagian peran ya bukan seks. Pembagian peran ini tidak bersifat mutlak, karena disesuaikan dengan adat budaya, kebiasaan, maupun banyak hal lainnya. Misalnya masyarakat matrilineal di Minangkabau dimana wanita memegang peranan penting dalam keluarga. Sementara kultur di Indonesia mayoritas menggunakan kultur patriarki dimana kewenangan utama di pihak laki-laki.
Dalam banyak kasus, perempuan kerap menjadi obyek marjinal dalam kultur patriarki, baik dalam istilah semacam konco wingking maupun kekerasan yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan atas anggapan hak sebagai pemegang otoritas di keluarga maupun masyarakat. Maka disinilah kesetaraan gender mengambil peran, bahwa laki-laki dan perempuan setara, saling melengkapi.
Perempuan dalam sudut pandang patriarki
Kenapa pada saat pembahasan mengenai kesetaraan gender lebih banyak mengangkat tentang perempuan? Kembali pada paragraf sebelumnya, bahwa perempuan dalam rumah tangga seringkali memiliki otoritas dibawah laki-laki yang terkadang mau tidak mau, suka tidak suka harus tunduk terhadap keinginan laki-laki. Dengan perbedaan level otoritas inilah yang membuat tidak jalannya diskusi antara kedua belah pihak, pemaksaan kehendak, bahkan tidak jarang juga terjadi pemerkosaan kepentingan dengan dalih hak laki-laki.
Di ranah domestik rumah tangga, pandangan patriarkis ini menempatkan perempuan untuk bertanggung jawab sepenuhnya terhadap urusan rumah tangga. Pekerjaan rumah tangga dianggap sepenuhnya tanggung jawab perempuan, sementara laki-laki bekerja di luar rumah mencari nafkah.
Anggapan bahwa perempuan itu lemah, manja, tidak mandiri belum tentu benar, sama halnya anggapan bahwa laki-laki kuat, tidak cengeng dan dapat diandalkan. Kembali lagi ke setiap orangnya, tidak serta merta dapat digeneralisasikan bahwa semua wanita itu lemah dan semua laki-laki itu kuat. Karena tidak sedikit juga perempuan yang bekerja sebagai kuli bangunan maupun pekerjaan-pekerjaan yang terlihat maskulin.
Dalam hal lain, perempuan dipandang sebagai obyek sensual, yang dinilai dari segi fisik dan kecantikannya saja. Di sinetron-sinetron kita, perempuan berwajah paling cantik sering ditempatkan sebagai artis utama, sebagai pesakitan yang dianiaya oleh artis-artis yang kebetulan dianggap tidak lebih cantik dari si artis utama dan kebagian peran antagonis.
Pada kasus artis dangdut yang mendapat pelecehan seksual di instagram oleh pesepakbola nasional, selain banyak yang memberikan dukungan pada artis tersebut, tidak sedikit juga mereka yang justru mencemooh si artis, dianggap sok cantik, cari sensasi, dan komentar-komentar negatif tersebut justru datang dari kaum perempuan sendiri. Padahal, berapa banyak perempuan yang mengalami pelecehan seksual semacam itu dan memilih diam jika dia malah dicemooh saat menyuarakan kebenaran?
Contoh lain, perempuan kerap dijadikan obyek pemberitaan untuk dijual, ketika terdapat kasus yang melibatkan perempuan, maka perempuanlah yang disorot, pada kasus salah satu travel umroh yang menipu ratusan orang, pemberitaan lebih banyak membahas tentang tersangka perempuan, baik latar belakang keluarga, bisnis, dll. Saat kasus vaksin palsu, maka si bidan yang kebetulan berparas cantik yang menjadi obyek utama pemberitaan, begitupun saat suami seorang artis senior terkena kasus korupsi. Maka yang dijual adalah berita dengan judul semacam suami artis A ditangkap KPK. Terakhir, saat Kroasia lolos ke Final Piala Dunia 2018, situs-situs berita di Indonesia ramai memberitakan kecantikan wajah Presidennya, alih-alih misal, prestasinya.
Kecantikan seolah menjadi komoditas utama dari perempuan, disadari atau tidak. Bahkan tidak hanya sekedar dari masyarakat awam, situs pemberitaan nasional yang seharusnya bisa bersikap netral pun seringkali memuat berita dengan nada seksis. Menjadikan perempuan dan kecantikan sebagai komoditas untuk meraup pembaca sebanyak-banyaknya.
Di sisi lain perempuan seringkali dikonotasikan dalam bentuk negatif. Janda misalnya, berapa banyak orang yang mempersepsikan janda itu genit, suka menggoda suami orang maupun hal-hal buruk lainnya. Perempuan bertato/merokok dianggap sebagai perempuan nakal, binal dan bisa diajak berhubungan seks dengan siapa saja.
Gender yang tidak selalu tentang perempuan
Tuh kan, dari tadi yang dibahas melulu soal perempuan. Memang pada saat ini, porsi pembahasan mengenai gender lebih banyak membahas permasalahan tentang perempuan. Namun demikian, sebenarnya bias gender tidak selalu ditujukan pada perempuan, laki-laki tidak terlepas dari permasalahan seputar gender juga, meskipun stereotypenya memang tidak sebanyak yang terjadi pada perempuan. Jaman dulu, laki-laki yang suka memasak disebut kemayu, tapi saat ini, hampir semua chef di resto dan hotel berbintang adalah laki-laki. Peran memasak tidak lagi hanya menjadi domain kaum hawa, tetapi kaum adam pun bisa mengambil peran. Karena pada akhirnya, apapun jenis kelaminnya, pada akhirnya kemampuanlah yang akan menentukan kesuksesan.
Peran KPPPA
KPPPA selaku perpanjangan tangan pemerintah yang membawahi urusan tentang perempuan dan anak memiliki kampanye yang disebut three ends. Three ends adalah kampanye yang ditujukan untuk tiga hal;
- Akhiri kekerasan pada perempuan dan anak
- Akhiri perdagangan manusia
- Akhiri ketidakadilan akses ekonomi untuk perempuan
Selain fokus pada pemberdayaan perempuan dan sosialisasi gender, KPPPA juga mengkampanyekan perlindungan terhadap anak. Seringkali kekerasan terhadap anak, dilakukan oleh orang-orang terdekatnya. Baik kekerasan verbal, kekerasan fisik sampai kekerasan yang menimbulkan cacat permanen dan kematian. Karena itu, KPPPA mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengakhiri segala jenis kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik yang dilakukan orang terdekat atau siapa saja.