Indonesia terkenal dengan kemampuan leluhurnya, baik dalam bidang maritim, arsitektur, pengobatan, sastra maupun naskah2 para professor di masa kerajaan2 masa lalu. Banyak pengetahuan saat itu tidak didokumentasikan secara baik, hanya ribuan prasasti, candi yang menggambarkan sebuah kisah kehidupan manusia dimasa itu, sementara masih banyak ilmu pengetahuan lain yang hanya menggunakan media getok tular dari mulut ke mulut.
Beberapa pengetahuan mampu bertahan melintasi zaman menuju era teknologi informasi. Kitab semacam primbon, weton, pranata mangsa, dan keahlian2 masa lalu menjelma menjadi sebuah simbol kultur dan kearifan lokal sebuah daerah. Namun tidak selalu pengetahuan2 itu dapat diterima masyarakat saat ini.
Perbedaan pemahaman antara manusia saat ini dengan manusia beberapa abad silam disertai perubahan zaman dan pembauran dengan nilai2 import baik dari Islam, China dan Kompeni. Mungkinkah leluhur kita juga sama alaynya dengan para keturunannya yang gila dengan atribut serba import? sehingga mengesampingkan karya cipta leluhurnya?
Hari ini, banyak dari kita bukan hanya tidak bisa menerapkan kearifan2 tersebut, lha wong tahu nama saja belum tentu. Padahal dalam banyak hal budaya kita ternyata lebih maju dari negara2 Eropa, sebut saja dalam budaya jawa, masih ada kata yang digunakan untuk menyebutkan keturunan ke delapan “Gantung Siwur” sedangkan dalam bahasa Inggris saja poll mentok cuma sampai grandpa – grandma. Mungkin saja jika kita banyak melakukan penelitian ilmiah dan kajian2 ilmiah terhadap karya2 sastra, weton, primbon kita bisa mengetahui sejauh mana sebenarnya kecerdasan bangsa kita di masa lalu. Kenapa kita seolah terlalu takut untuk membedah sejarah peradaban bangsa? haram? syirik? Jangan dulu kita melabeli semacam itu, kita tidak bisa meneliti sesuatu ketika kita membentengi diri kita dari ketakutan2 kita terhadap kemungkinan yang ada. Jadikan ini adalah obyek netral yang memerlukan penelitian lebih lanjut agar kita bisa menemukan fakta2 yang ada. Bukankah kita pun diajarkan agar tidak taqlid buta? bukankah kita diajarkan untuk terus berfikir dan mencari ayat2 Tuhan yang terserak di alam semesta ini?
Well, saya harap kita tidak terlalu apatis dengan kearifan2 lokal kita, ah kurang kerjaan, ah kuno, ah mistis, kurang kerjaan karena kita terlalu terbuai budaya konsumtif, kuno karena memang kearifan tersebut telah mampu mengikuti perkembangan jaman, mistis karena kita abai dan enggan untuk mempelajarinya.
gambar dari sini
Jauh sebelum peradaban samawi itu datang kita telah memiliki kecerdasan luar biasa Prii…
Sementara kalau mau belajar sejarah maka bentuk “hak paten” -atas batik sekalipun- bakal terputuskan dengan sendirinya. Karena tak usah munafik dan butuh disadari “paten -budaya leluhur=” arahnya tak jauh dari ‘keserakahan’ (Ingat, paten budaya lho, bukan paten akademis)
Dan kalo mau memahami sejarah pun budaya kurasa “taqlid buta” itu tak bakalan ada, karena bisa menyadari keberadaan pun asal-usul kita. Bukan sok merasa PALING benar sendiri ajaran yang diyaqininya.
Dan lagi, yang patut disayangkan adalah “Kenapa harus mangagung-agungkan yang diyaqini sekarang kalau harus menghancurkan peninggalan2 leluhur masa lampau..?”
Takutkah iman kita tergadai arena telah mempelajari peninggalan masa lampau itu…?
aku ndeloke ki kadang orang melabeli fatwa ini haram karena gak ada di Islam, gak ada di arab, ya jelas, islam diajarkan di arab gak mungkin bersinggungan langsung sama budaya jawa.
Sementara “strange science” macem primbon, yang belum mereka kaji dengan kaidah2 ilmu pengetahuan langsung dilabeli syirik, sebenernya bukan masalah percaya primbon = percaya setan, tapi mengkaji gimana sih orang jawa dulu bisa menciptakan metode penalaran a.k.a peramalan menggunakan primbon???
Bukankah anak2 informatika sekarang juga diajari membuat artificial inteligen yang bisa meramalkan/menalarkan sesuatu dari input2 yang terjadi saat ini