Sepotong Bengbeng dan Kolapsnya Swalayan di Desaku

Di daerah rumahku, terdapat sebuah swalayan yang lumayan besar untuk ukuran swalayan mandiri yang tidak terafiliasi dengan minimarket modern berjejaring. Dulu, kemunculan swalayan itu menggusur satu-satunya swalayan kecil yang bisa dibilang sudah iconic di daerah situ.

Pemiliknya selain memiliki swalayan juga memiliki toko material dan furniture, jadi untuk urusan expand bangunan mah sudah sangat-sangat terjamin, hingga akhirnya swalayan itu pun dibangun menjadi dua lantai. Segala macam kebutuhan rumah tangga ada di sana, mulai dari kebutuhan pokok seperti makanan, sabun, perangkat rumah tangga, baju, tas, sepatu, dan masih banyak lagi. Khusus untuk baju-bajunya, terutama pakaian bayi dan anak, menurutku sangat fashionable untuk ukuran anak desa. Cakep deh, tapi ya untuk masalah harga sih menurutku terlalu tinggi n kurang terjangkau sama masyarakat sekitar.

Biasanya menjelang musim lebaran, swalayan itu juga menjual beraneka snack, hampers yang bisa dibeli masyarakat sekitar untuk disajikan dirumahnya menyambut sanak saudara yang datang bersilaturahmi. Bisa dibilang, swalayan ini sudah berada di track yang benar secara manajerial

Tapi itu dulu, sebelum negara api menyerang

gambar bohlam lampu mismanajerial ruin business

Kepengurusan swalayan akhirnya berpindah kepada salah seorang anaknya, seorang gadis cantik lulusan manajemen sebuah kampus ternama di kotaku. Sepertinya, segala sesuatu akan menjadi semakin baik, karena ditangani oleh orang yang memang memiliki bidang keahlian yang sama.

Aku sering berbelanja disitu, di depan swalayan juga ada permainan anak yang harus dijalankan dengan koin. Fahri dan Faiz suka sekali main disitu, karena disitulah tempat bermain terdekat dari rumahku. Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan keganjilan. Pertama, hampir semua karyawannya berganti. Aku tidak tau, PHK, mengundurkan diri atau ada masalah yang membuat mereka serempak mundur, tapi kupikir PHK tidak mungkin karena swalayan ini masih cukup ramai.

Karyawan baru, tidak bertahan lama, mereka juga keluar masuk, dan jumlahnya pun mulai menyusut. Sampai di akhir-akhir, hanya ada satu karyawan yang bekerja disana, swalayan 2 lantai dengan hanya ada 1 karyawan saja.

Sepotong Bengbeng dan Kolapsnya Swalayan di Desaku 967101 7ac5f9ce 7884 4f4c a3d7 baffb66c4a78

Masalahnya bukan hanya dari ketersediaan pramuniaga saja, hal yang paling remeh pun aku temukan. Aku suka makan bengbeng, di sekolah aku dikenal sebagai Guru Tukang Palak Bengbeng, dulu, siswa-siswaku yang sekarang udah jadi alumni, kalo berbuat kenakalan selalu aku hukum buat jajanin aku Bengbeng, ya mulai dari sebiji, dua biji, Bengbeng Max, bahkan ada yang pernah satu dus. Lucunya, setelah mereka lulus, kadang mereka hubungi via WA, cuma mau ketemu n nganterin sekotak Bengbeng buatku. Nah, menurutku, bengbeng sendiri adalah coklat batang paling populer di masyarakat, umumnya anak-anak sekolah dan juga gurunya, Oke deh SilverQ emang enak, tapi untuk ukuran masyarakat desa jelas ini gak kebeli. Dan menurutku, bengbeng adalah salah satu snack yang wajib ada di toko meski lokasinya di desa.

Waktu aku datang kesana, tidak ada bengbeng, kupikir karena yah belum datang lagi stocknya, begitu terus sampai aku datang kesana beberapa kali dan tidak menemukan produk itu, oh mungkin ini ada persaingan dengan produk sejenis, bisa aja kan boleh majang produk A dikasih harga spesial asal toko gak pajang produk B. Tapi pikiran itu kemudian sirna setelah aku menyadari bahwa swalayan itu pun tidak memiliki stok snack Taro.

Semakin hari, semakin aku datang kesana jumlah makanan yang ada semakin menyusut, swalayan semakin sepi, hingga akhirnya si pemilik pun memasang banner besar Diskon 40% all item. Lucunya, ketika istriku datang kesana untuk membeli barang-barang, ternyata tidak ada barang yang di diskon. Ternyata, si pemilik merasa bisnis swalayan yang dipegang anaknya sudah tidak bisa berkembang, jadi lebih baik segera dijual murah, biar bangunannya bisa dipakai untuk membuka bisnis baru, sialnya si anak kekeuh aja gak terima klo barang-barangnya dijual murah. Karena kesel istri akhirnya membatalkan niat untuk membeli barang. Lucu, tapi nyata.

Aku pernah juga mencari perabot rumah tangga di toko furniture yang berada disebelahnya, n jujur saja aku terbengong-bengong dengan isi tokonya. Actually, furniture yang dijual disini bagus-bagus, kelewat bagus malah, untuk ukuran orang desa. Andai saja toko ini berada di pinggir jalan raya utama, atau di kota kabupaten saja, toko ini pasti laris manis, sayang, ia berada di pinggiran, di jalan desa, dekat perbatasan antar provinsi. Mbok ya o sekedar mencari kursi plastik saja tidak ada, yah namanya juga toko furniture di wilayah pedesaan kan ya disesuaikan lah dengan budget masyarakat sekitar, perabot2 rumah tangga biasa yang terjangkau malah laris, ini malah gak ada, isinya sofa khas orang gedongan, ya cakep sih, tapi kan gak kebeli ma masyarakat sekitar.

Btw, dari cerita yang beredar, swalayan itu mengandalkan agen untuk mengisi rak barangnya, gimana klo gak ada agen yang jualan so klin? Ya enggak jualan so klin, nah kasus ini menimpa Bengbeng dan Taro. Kedua produk itu tidak ada disitu karena kesalahan agen, tidak ada agen yang menyuplai produk itu ke swalayan. Duh kak, aku sama istri aja bela2in kulakan sembako buat dijual lagi, padahal kami gak punya toko, cuma ibaratnya nyetokin kebutuhan tetangga sebelah rumah aja.

Sejak Fahri bayi, sampai sekarang usia 5 tahun, aku pernah ngincer sebuah baju yang ada disana, tapi gak pernah jadi karena harganya mahal. Lima tahun berikutnya, baju yang sama masih berada di swalayan yang sama. Masih banyak barang-barang lain yang hanya menjadi pelengkap saja, jarang disentuh oleh pembeli. Barang-barang ini ibarat modal macet, ya mau gimana lagi, disaat lebaran, toko lain ramai memberikan diskon, ini barang dari 5 tahun yang ago aja harganya masih sama. Hape lima tahun lalu saja, sudah gak ada yang minat kan ya?

So, apa sih yang ingin aku omongin dari nyinyirin swalayan sesembak itu?

Jadi begini, sebagus apapun starting point kita, tidak akan ada gunanya jika kita tidak memiliki kapabilitas untuk menjaga ritme keberlangsungan bisnis kita. Bayangin saja, sudah tanpa pesaing, punya backup modal kuat, bangunan megah, lha kok jangankan berkembang, bertahan saja tidak bisa. Semua bisnis pada akhirnya akan hancur jika dipegang oleh tangan yang salah.

Gelar, tidak menjadi jaminan bahwa seseorang ahli dalam sebuah bidang, gelar, adalah pengakuan secara akademis telah menyelesaikan sebuah pendidikan, bukan menandakan keahlian dalam sebuah bidang. Kepekaan terhadap lingkungan adalah unsur utama, kita harus mampu menangkap kebutuhan pasar di sekitar kita. Ketiadaan Bengbeng dan Taro ini adalah bukti ketidakpekaan bahwa kedua produk itu cukup familiar.

6 pemikiran pada “Sepotong Bengbeng dan Kolapsnya Swalayan di Desaku”

Tinggalkan komentar

(Note, links and most HTML attributes are not allowed in comments)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Ingin produk/website Anda kami ulas? Silahkan klik tombol dibawah ini