Yogyakarta, dikenal sebagai kota, sebagai provinsi, tetapi lebih penting lagi dikenal sebagai rumah bagi banyak warga negara Indonesia. Tak berlebihan kiranya jika ada istilah as homy as Jogja, karena banyak manusia Indonesia pernah merasakan keramahan Jogja, baik sebagai wisatawan ataupun juga pendatang yang menimba ilmu di kota ini. Rata2 mereka selalu ingin kembali ke kota ini, dan hampir setengahnya ingin kembali dan menetap lagi di Jogja
Pertama datang di Jogja di awal millenium baru, aku memang enggak terlalu suka dengan kota ini, bukan karena kulturnya yang sedikit berbeda dengan daerah asalku meski sesama penganut pakem Jawa, hanya saja waktu itu aku masih belum ikhlas pindah dari daerah asalku ke tanah ini.ย
Tahun berganti dan aku pun pada akhirnya jatuh cinta pada setiap sudut Jogja, kota yang tenang, nyaman dimana aku bisa naik motor pecicilan sesantai2nya jaman SMA, meski sekarang terpaksa mulai terbiasa dengan kemacetan di jam2 sekolah. Dan sekarang aku selalu merasa tidak pernah ingin meninggalkan tempat ini.
Dulu aku begitu heran, kota sebesar Jogja, tapi minus dengan hingar bingar kompleks metropolitan selayaknya kota2 besar di tanah air. Ya, Jogja tentunya tidak seharusnya kalah modern di bandingkan kota2 tersebut. Dari cerita disana sini aku dapat sebuah kesimpulan.
Di Jogja kita tidak akan bertemu dengan kompleks industri besar yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi besar2an. Industri di Jogja sangat terbatas dan dalam skala yang tidak gila2an seperti halnya kota2 besar lainnya. Setahuku ini karena ada kebijaksanaan entah dari pemerintah daerah/kraton yang memang tidak ingin Jogja dan warganya menampung efek samping limbah industri.
Aku juga tidak melihat bangunan gedung pencakar langit di kota ini, kalaupun ada bangunan berlantai lebih dari 4 itu pasti hanya mall/hotel2 berbintang di kawasan Malioboro dan Jendral Sudirman. Sisanya, membumi tidak ada yang terlihat lebih tinggi satu sama lain.
Disini aku merasakan Sultan sebagai raja Jogja benar2 menerapkan apa yang menjadi gelarnya Hamengku Buwana;ย “memangku kepentingan manusia“. Basic budaya dan kearifan lokalnya begitu kental terasa.
Tetapi itu dulu…..
Semakin kemari, Jogja semakin tidak nyaman untuk ditempati, seolah2 ada tuntutan untuk memodernisasi wajah Jogja agar tidak terlihat kampungan bagi pelancong dari kota besar lain. Amplaz dan XXI sukses membuat Jogja tidak terlalu cupu tetapi juga menyisakan masalah kemacetan di ruas jalan Solo.
Fine, pembangunan rusun di tepian Kali Code menurutku adalah bentuk perkecualian, kebutuhan rusun itu memang mendesak untuk menghindarkan warga yang tinggal di daerah aliran sungai dan rentan terkena imbas lahar dingin dari hulu Merapi. Tapi lihatlah sekarang begitu banyak hotel2 berbintang baru berjamuran di seantero Jogja, parahnya lagi, hotel2 tersebut setelah tidak mendapat tempat di jalan protokol pun fine2 saja mendirikan hotel berbintang di daerah yang menurutku lebih tepat disebut permukiman penduduk. Ada masalah? jelas! Karena tentu saja keberadaan hotel akan mengganggu penduduk disana. Itu belum termasuk dengan dibangunnya apartemen mewah di Sleman utara dan Sleman timur, belum dihitung beberapa hotel mewah dan mall besar yang siap memacetkan Jogja dari segala penjuru.
Ungkapan kekecewaan warga dan seniman terhadap tata kelola kota pimpinan Haryadi Suyuti yang disampaikan dalam Festival Mencari Hariyadi, dimana warga tidak merasakan kehadiran walikotanya dalam berbagai persoalan2 ini, memunculkan kritikan Grafitiย “Jogja Ora Didol”ย (Jogja Tidak Dijual) yang membuat seorang remaja Jogja dihadapkan di kursi pengadilan. Padahal menurutku, kritik festival ini adalah cara istimewa para seniman untuk menyuarakan kegelisahan rakyat tanpa harus berdemo dan merusak fasilitas umum.
Permasalahan sebenarnya memang tidak hanya sebatas lingkup kota saja tetapi sudah merambah ke kabupaten2 yang ada di provinsi ini, pembangunan bandara di kulon progo, perumahan mewah di Bantul Barat, apartemen2 mewah di Sleman. Menjadi sebuah urgensitas bersama warga Jogja untuk waspada terhadap pengkondisian Jogja dari sebuah tanah humanis menjadi hedonis.
RUUK yang seharusnya menjadikan Jogja semakin istimewa rasanya justru bisa menghunjam dada para warganya sendiri, dulu HB IX sempat mengeluarkan peraturan untuk menghapuskan hak kepemilikan tanah kraton, tetapi kini Sultan Ground dan Pakualaman Ground yang rencananya hak kepemilikannya harus dikembalikan kraton dan pakualaman, rentan disalahgunakan pihak2 yang ingin mengambil tanah dari para warga yang menempati SG/PAG untuk dijual ke pihak2 yang berorientasi keuntungan.
Jogja seolah sedang mengubur jatidirinya sendiri, mengubur identitas keJogjaannya. Mungkin Jogja telah memenangkan RUU Keistimewaan, dan bersamaan dengan pengakuan itu, Jogja justru mengubur keistimewaannya sendiri.
Jogja Istimewa, Istimewa Negerinya, Istimewa orangnya
mall memang bs merusak wajah kota, ya ๐
iya mbak myra, apalagi perumahan/apartemen mewah, hanya akan terbeli mereka2 yang kalangan atas, rakyat kebanyakan deket2 aja sudah diusir satpam
Dari dulu ingin sekali pindah dan menetap jadi warga jogja loh aku mas, tapi mungkin belum jodoh untuk bisa tinggal disana hihi. tapi iyayo semakin kesini jogja kok semakin macet dan hampir menjadi kota besar nggak kayak dulu ๐
marilah kemari mbak anggi, ๐ cuma kekurangan Jogja untuk urusan pekerjaan ya gaji disini memang tidak setinggi di kota2 lain ๐
tiap musim liburan memang seolah kemacetan jakarta dibawa mudik ke jogja ๐
Saiki sing paling bisa tuku omah nang Jogja ki wong luar Jogja lho.. Nek pas golek-golek tanah, omah, kontrakan, biasane tanggane ngomong : “niku sebelah kosong, sing numbas tiyang Jakarta, dikosongaken”..
Kabeh wong pengin nang Jogja, tapi ra gelem ngrumat lan golek panguripan nang Jogja. Sui-sui wong Jogja dewe kesingkir..
biyen ki paling sik kosong mung villa2 neng kaliurang saiki mbok perumahan we ditukuni ning mung istilahe “ternak akun” nduwe omah neng mben papan, sik dinggoni mbuh sik ndi